Jumat, 14 Desember 2018

Unek-Unek Penutup 2018

Sebenarnya sudah sejak lama ingin menulis hal ini. Namun, kejemuan malah menghampiri akibat dari drama-drama yang lebih dikedepankan dari pada kemenangan yang merupakan tujuan utama dari kompetisi. Rasa ingin menulis kembali datang ketika ada hasrat untuk memperburuk keadaan setelah Mario Gomez tidak akan kembali menukangi Persib pada musim depan dan keriuhan yang terjadi di media sosial. Mari mulai.

Mario Gomez datang  dengan tanpa dibebani target untuk meraih juara, manajemen menargetkan masuk lima besar saja. Bahkan beberapa akun media sosial Bobotoh menyuarakan untuk menurunkan ekspektasi. Keharmonisan pendapat yang cukup baik supaya ketika musim berlangsung dapat mengurangi “gangguan” akibat dari pencapaian tim di lapangan yang belum baik.

Benar saja, hasil pada turnamen pra musim dan dua pertandingan awal liga sangat tidak memuaskan. Namun, juga dengan kedalaman skuat yang tidak cukup baik, siapa sangka Persib bisa menjadi juara paruh musim dan tetap nyaman menguasai puncak klasemen sampai beberapa minggu setelah 23 September. 

Beragam sanksi memukul telak Persib. Yang disesalkan adalah perjuangan direksi dalam melawan sanksi yang menjadi awal dari morat-maritnya Persib di akhir musim. Saya pun tahu bahwa direksi sudah melakukan banding, tapi apakah itu cukup? Hasilnya? Apakah para pemegang keputusan tidak resah dengan komisi banding yang lambat dalam memberi keputusan? Hanya tunduk dalam aturan yang membuat keadaan Persib semakin buruk, tidakkah kecewa jika sanksi untuk pemain lebih dulu selesai dari pada keputusan banding? Adakah keinginan kuat untuk menentang aturan yang mengatur batas waktu keputusan komisi banding? Tidakkah ada keinginan untuk mempertanyakan dasar dari komisi banding yang memberi batasan keputusan yang sama antara sanksi yang akan selesai sebulan kedepan dengan tahun depan? Bukankah melawan dengan sungguh-sungguh—termasuk aturan--adalah keniscayaan dari orang yang tertindas? 

Seperti apa yang dilakukan oleh Sukarno dalam pidato pembelaan atas sewenang-wenangnya aturan yang lebih kita kenal dengan sebutan Indonesia Menggugat, dengan mengutip Tuan Mendels--Bung Karno mengatakan: 
“Satu pasal undang-undang pidana yang mendirikan bulu roma. Di dalam tahun-tahun yang akhir ini belum pernah dijumpai. Tapi kalau begitu, janganlah orang omong bahwa di sini ada aturan hukum. Ini berarti tidak ada aturan hukum sama sekali, ini adalah kesewenang-wenangan dengan mempergunakan undang-undang sebagai senjata”. 
Dengan dasar apa yang telah dilakukan dalam melawan hukum serta hasilnya, saya kira PT. PBB belum bisa disebut telah melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Juga pada musim ini, isu mafia dan skandal pengaturan skor kembali hangat. Puncaknya pada acara Mata Najwa yang berhasil mengungkap salah satu pelaku pengaturan skor. Dan dalam waktu yang hampir bersamaan muncul isu suap dalam tubuh Persib yang tidak diselesaikan sampai diketahui apakah isu itu benar atau tidak. Jadi percuma saja jika PT. PBB menginginkan adanya perubahan di sepakbola nasional jika isu di dalam tubuh sendiri saja dibiarkan, tidak dicari siapa pelaku sebenarnya dan diselesaikan sampai pelaku jera. Mungkin Ardy Nurhadi Shufi dalam salah satu artikel di Panditfootball baru-baru ini benar bahwa isu itu digunakan untuk menutupi alasan kegagalan meraih gelar juara oleh beberapa tim.

Juga perihal saling tuding “anak papah” sampai Glenn Sugita mengaku telah mengirim surat pengunduran diri dari perusahaan yang menjalankan Liga 1, namun, akan percuma saja Glenn keluar dari PT. LIB jika keputusan atau kebijakannya masih bisa ditindaklanjuti oleh Risha Adi Wijaya, yang sebelumnya menjadi tangan kanan Glenn di PT. PBB, apalagi jika perusahaan-perusahaan yang dimiliki Glenn masih menjadi bagian pada Liga 1 musim depan.

Permintaan naik gaji juga menjadi drama telenovela Persib pada musim ini. Jika Mario dan—sulit sebenarnya menulis nama ini—Soler meminta naik gaji, apa salahnya demi gelar juara? Jika yang jadi alasan adalah gaji yang sangat berbeda jauh dengan pelatih-pelatih sebelumnya. Lalu, bagaimana dengan gaji Michael Essien atau Carlton Cole, apakah gajinya tidak berbeda jauh dengan pemain lainnya? Dan juga apakah pencapaian sang Marquee Player lebih baik dari pada Mario Gomez dengan Soler? Memang sulit untuk menilai mana yang lebih baik jika tujuan utama adalah “brand image” bukan gelar juara.

Sebagai penutup, terima kasih Roberto Mario Carlos Gomez—walau Persib berhasil mengakhiri di posisi empat tapi kontrak Gomez tetap tidak berlanjut--untuk setengah musim yang membanggakan dan juga euforia terbaik pada tanggal 23 September yang tidak akan pernah terlupakan. Semoga alasan kontrak yang tidak dilanjutkan adalah benar karena attitude yang membuat tim menjadi tidak harmonis. Bukan dikarenakan attitude yang seperti Rochy Putiray katakan di salah satu video youtube channel Asumsi atas tidak dikontrak kembalinya Luis Milla di Timnas Indonesia. 

Semoga pengganti Mario Gomez benar-benar lebih baik dan bagus dari segi memenangkan gelar juara Liga 1 dan kepentingan lainnya berada pada skala prioritas selanjutnya.

Tabik!

------------------------------------------------------------

Dipost juga di Simamaung

Selasa, 25 September 2018

Please Stop, Football Snobs!

Template, itulah kata yang pertama kali hadir dalam benak sehari setelah hari pertandingan. Jatuhnya korban yang diikuti oleh banyaknya pendapat di beragam media. Dalam pikiran saya, hal yang terjadi setelahnya adalah menguap. Terus begitu. Rangga, Ricko dan lainnya. 

Dan yang lebih membuat geram adalah PSSI masih belum mengeluarkan statement hingga saat ini. Hal yang membuat kabar yang beredar semakin gerah. Saling mengeluarkan pendapat yang bukan malah memperbaiki keadaan. Seperti saya dalam tulisan ini, mungkin.

Yang dibutuhkan kali ini adalah solusi yang signifikan bukan pendapat-pendapat yang sama seperti setelah kejadian Rangga, Ricko atau yang lainnya. Bukan argumen-argumen kosong apalagi yang diucapkan oleh yang akan menjadi calon legislatif. Termasuk anjuran untuk berdamai. Sudah berapa kali deklarasi damai diberlangsungkan? Seperti yang baru saja APPI inginkan. Apakah itu sebuah solusi terbaik? Yang ditakuti, seperti yang sudah sering banyak ditemui di media sosial, adalah kekhawatiran atau kewaspadaan berkurang tapi ancaman masih tetap besar. Suruhan damai itu terasa kosong, seperti tak mengetahui keadaan di akar rumput.

Apalagi yang beropininya tak tahu konteks lapangan. Bagaimana rasanya melihat para jakmania yang mengunggah dirinya sedang berada di Bandung yang captionnya saya baca sangat menantang. Belum lagi jejak digital almarhum Haringga.

Tetap tak mengerti jika yang dijadikan alasan adalah pembunuhan, kenapa pada laga lain yang ada korban meninggal juga tak separah ini hegemoninya? Apakah karena yang membunuh Bobotoh dan yang terbunuh the jak, sedangkan nyawa lainnya tak penting? Padahal waktu kejadian belum lewat berbulan-bulan. Yang terjadi di Bantul tepat sehari sebelum PERSIB dijamu PS. TIRA. 

Jika seluruh Bobotoh itu biadab, Ricko pasti takkan jadi korban karena beliau menjadi korban akibat ingin melindungi jakmania. Itulah keluh kesah banyak Bobotoh. Pernyataan itu terbentuk akibat dari banyaknya yang menyudutkan Bobotoh. Maka, jika kondisi ini diteruskan, saya khawatir takkan ada perbaikkan. Apalagi jika benar kompetisi dihentikan, yang ada saling menyudutkan takkan pernah selesai.

Seperti dalam tulisan sebelumnya, saya ulangi lagi. Dari tahun 2016 ketika Persib melawan persija di Solo, saya sudah tidak menyukai pelarangan suporter tamu untuk tidak datang. Memang sangat baik ketika kebijakan itu pertama kali digunakan, namun waktu terus berlalu, saya kira harus ada kebijakan baru. Kini, oleh sebab pelarangan itu, timbul akibat baru yaitu menjadi penyusup, datang ke stadion lawan dengan tidak menggunakan atribut timnya. Dan hal itu menjadi semacam pencapaian bila berhasil tembus. Coba telusuri satu sampai dua hari sebelum tanggal 23 September, banyak sekali akun-akun the jak yang memposting dirinya sedang berada di Bandung dan akan menyambangi GBLA, termasuk memposting foto tiket pertandingan dengan caption yang saya baca sangat menantang Bobotoh. Dan Bobotoh pun begitu bila Persib menyambangi kandang persija.

Jika yang jadi masalah adalah tentang korban yang menyusup, maka solusinya bukan memberhentikan liga tapi memperbaharui kebijakan pelarangan suporter rival datang ke kandang lawan kalau perlu ganti kebijakannya.

Yang terjadi belakangan ini adalah diskusi-diskusi yang malah akan memperparah keadaan. Mereka berpikir bahwa suporter Indonesia sangat urakan. Tak pernah mencoba melihat ke negara yang sepakbolanya sudah maju. Sangat bosan membahas tentang kebijakan di Inggris, misalnya, yang setiap rival bisa saling mengunjungi. Dan juga pernah terbukti berhasil dilakukan di sini ketika persija menjamu Persib di Malang dan Sleman, juga Final Piala Presiden dan Bhayangkara Cup yang walaupun lawan Persib bukan persija tapi kedua final itu dihelat di Jakarta, yang sudah pasti secara kuantitas jakmania lebih banyak dari pada ketika di Malang dan Sleman.

Sebagai manusia penuh dosa, suudzon atau berprasangka buruk selalu menghampiri. Jika saja Persib tak berada di puncak klasemen, hal ini mungkin takkan separah ini, karena yang mengutarakan keinginan Persib untuk disanksi adalah sebagian dari tim-tim yang ada di peringkat 2-5, jika nyawa adalah yang mereka perjuangkan, kenapa tidak seberisik ini ketika jatuhnya korban di Bantul, Jakarta, Malang yang belum genap setahun? Atau mungkin kejadian ini berdekatan dengan akan diadakannya pemilihan umum. Aji mumpung, mendompleng demi nama yang semakin familiar.

Maafkan kami Haringga, Ricko, Rangga dan lainnya, kematianmu disalahgunakan demi uang, pamor, citra atau elektabilitas, karena seperti sebelumnya, takkan ada hasil yang signifikan jika yang mengutarakannya punya maksud lain, selain ingin persepakbolaan Indonesia lebih baik. Dan orang-orang seperti itu lebih biadab dari pelaku pembunuhanmu. Semoga tenang di alam sana.

Senin, 24 September 2018

Malam Indah yang Ternoda

23 September 2018, Persib menghadapi persija pada lanjutan Liga 1. Seperti sebelumnya, laga ini akan memanas sejak jauh hari, terutama di dunia daring. Di mulai dari susahnya mencari tiket, adu banter, sampai individu-individu pendukung persija yang mengunggah foto sedang berada di Bandung dimana dalam unggahannya tersebut beliau-beliau mengatakan bahwa akan hadir di GBLA yang mengakibatkan sebagian dari Bobotoh terpancing. Sweeping adalah bahasa yang sering mereka sebutkan dan lakukan, lalu kemudian Bandung kena tular.

Memang sweeping pernah dilakukan sebelumnya oleh kawan-kawan di Bandung. Namun, mungkin karena terprovokasi akibat banyaknya postingan jak mania, pada malam sebelum hari pertandingan, banyak sekali kabar yang saya dapat bahwa Bobotoh telah 'menangkap' beberapa the jak. Sampai salah satu kawan berucap bahwa tahun ini sangat beda, ia melihat gairah Bobotoh untuk me-sweeping the jak amat tinggi, bahkan ketika ia akan pulang lalu melewati Alun-alun Bandung, banyak sekali Bobotoh yang sedang menginterogasi orang yang mereka kira sebagai the jak, padahal waktu menunjukkan sudah dini hari.

Bagi saya kejadian itu seperti anomali. Jangankan ada waktu untuk mencari kawanan penyusup yang sudah diperingati untuk tidak hadir, mencari tiket pun sudah sangat menyita waktu bahkan pikiran. Hari itu memang terasa berbeda. Lalu, salah satu kawan saya lainnya memperlihatkan temuannya di instagram, yaitu video seorang remaja yang mimik mukanya seperti akan menangis karena sedang diinterogasi. Saya kira, itu masih dalam tahap wajar, apalagi jika mengingat apa yang dilakukan oleh mereka yang sungguh begitu angkuh nan gagahnya mengunggah foto sedang berada di Bandung dengan untaian kata yang saya kira sangat menantang.

Hari pertandingan pun tiba. Awalnya, saya serta beberapa kawan merencanakan untuk datang ke stadion menggunakan ojeg online dari rumah kawan saya di Bojongsoang, namun setelah terpikirkan bahwa di stadion sinyal akan susah didapati yang akan mengakibatkan sulitnya mencari ojeg online, kami memutuskan untuk menggunakan kereta pada pukul 10.21 WIB dari Cikudapateuh. Rencana kembali gagal, akibat tiket kereta untuk keberangkatan pada pukul itu sudah habis. Dan sialnya keberangkatan selanjutnya adalah pukul 12 kurang 7 menit. Mengingat pintu tribun sudah dibuka sejak pukul 12 siang, pilihan untuk menggunakan kereta bukan pilihan terbaik kecuali bersedia untuk masuk berdesakkan. Sampai akhirnya, sebelum adzan dzuhur kami memutuskan untuk menyimpan mobil di rumah teman sekitaran pasar Gedebage, lalu ke stadion menggunakan ojeg pangkalan yang mengetahui jalan pintas bebas macet. Padahal waktu belum menunjukkan pukul 12 siang. Namun, begitu gelisah, apalagi ketika mendapat kabar dari teman yang sudah berangkat dari pukul 10.30 menggunakan motor dan tak bisa bergerak disekitaran jalan Cimencrang.

Saya akhirnya masuk ke stadion sekitar pukul satu. Tak langsung masuk tribun, saya memilih untuk melihat jalanan sekitar stadion terlebih dahulu dari lantai tiga stadion. Lautan manusia dan kendaraan sangat terlihat jelas. Kendaraan sudah tak bisa bergerak, gerbang masuk sangat penuk sesak oleh ribuan manusia, sepak mula tinggal dua jam setengah lagi. Jika saya ada diantara ribuan manusia yang berdesakkan itu pasti sudah khawatir tidak bisa masuk stadion.

Sepak mula sampai harus diundur 30 menit akibat kedua kesebelasan sulit untuk masuk stadion, bahkan Persib harus berjalan kaki melewati sawah.

Pertandingan sungguh berbeda, jika biasanya para pemain sangat berhati-hati, kemarin, para pemain sungguh emosional, pertandingan berjalan belum lama, Persib sudah mendapatkan dua kartu kuning. Ismed dihajar Ardi Idrus, yang sebelum pertandingan memposting kata-kata heroik dari Adjat Sudradjat untuk tidak takut untuk berkelahi di instastorynya. Dan hal yang paling saya suka adalah ketika Bojan Malisic dengan sangat tengilnya menghampiri Bepe yang ada di Bench pemain untuk berkonfrontasi.

Gol indah tercipta oleh King Eze lewat sepakan kerasnya. Lalu terbalas oleh tandukan Jaimerson sebelum babak pertama selesai. Di babak kedua Bauman kembali membuat Persib unggul, lalu kembali dibalas oleh sundulan Rohit. Sungguh itu adalah pertandingan yang seru. Bermain keras sejak menit awal. Dua kali unggul lalu terbalaskan. Sampai merasa sudah habis ketika tambahan waktu empat menit diucapkan oleh MC. Namun, siapa sangka, pemain yang sejak awal sudah sangat emosional, dapat mencetak gol dramatis pada menit 93.33. Menit dan detik yang indah. Gol pembunuh persija yang dirayakan begitu emosional. Pahlawan dari Balkan kembali hadir!

Pertandingan berakhir, kami semakin kokoh di puncak. Jika biasanya, kami (saya dan kawan-kawan yang setiap pertandingan kandang selalu bersama-sama) sama sekali belum pernah melakukan Viking Clap pada musim 2018, malah kami sangat tidak menyukai anthem. Kemarin sangat berbeda, seluruh kawan saya melakukan Viking Clap dan bernyanyi Kami Biru. Sungguh nikmat sekali malam kemarin. Kemenangan dramatis. Setelah ritual yang sebenarnya saya tidak sukai (kecuali pada pertandingan kemarin) telah selesai, kami tidak langsung keluar stadion, kami lebih memilih duduk menikmati suasana stadion dengan cahaya bulan yang menerangi ketika lampu stadion sudah dipadamkan oleh PANPEL agar Bobotoh segera keluar stadion dan hanya kami saja yang berada di blok tribun samping selatan atas. Ketika banyak orang sudah ingin cepat-cepat sampai rumah, suasana stadion di bawah cahaya bulan itu sangat indah dengan rasa senang yang sangat menyelimuti.

Nuansa indah yang tak terbayang sedikitpun bahwa setelahnya akan ada kabar buruk yang menghampiri. Sungguh tak bermoral bak binatang. Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang yang membabibuta itu. Bagaimana perasaannya memukuli orang yang sudah tak berdaya. Apalagi ketika mengetahui kebiadaban itu terjadi pada pukul satu siang yang dimana banyak orang sudah khawatir tidak bisa masuk stadion, atau mungkin cuma saya saja yang memiliki kekhawatiran seperti itu.

Kemenangan yang indah ternoda, keadaan dimana seharusnya kami meluapkan euphoria malah mendadak lesu. Apalagi ketika membaca sosial media yang template.

Banyak sekali hal yang harus diluruskan. Tafakur mungkin adalah suatu keharusan. Padahal, Dodi Pesa pernah menulis tentang menjadi Bobotoh yang harus bebas asal tidak kriminil. Sungguh menyesakkan ketika mengetahui tulisan itu dibuat pada tahun 2003. Kemunduran, kah? Entahlah, saya hanya orang baru di dunia ini.

Namun, jika kebebasan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Maka saya ingin berpendapat bahwa kesalahan bukan hanya pada suporter belaka. Apalagi jika hanya menyalahkan pelaku.

Sejak 2016 ketika Persib akan bertandang ke Solo melawan persija, saya sangat tidak setuju ketika suporter dilarang untuk datang ke stadion dengan alasan keamanan. Bukan karena hanya menonton tim kesayangan adalah panggilan jiwa. Namun kini, banyak yang berpaham bahwa mengunjungi kandang yang katanya rival dengan cara menyusup adalah keren. Dan itu sangat sulit untuk dilarang oleh siapapun, buktinya setelah korban jatuh, masih ada yang tetap memaksakan diri menjadi penyusup lalu kemudian jatuh korban lainnya. Coba lihat postingan beberapa akun the jak pada 1-2 hari sebelum hari pertandingan, begitu menantang, seakan maut bukan taruhannya. Atau mungkin mereka sudah tahu dan siap akan akibatnya.

Kecuali di PTIK yang memang kandangnya keamanan, pada beberapa tahun terakhir korban selalu ada, dan yang lebih parah adalah beberapa kali korbannya merupakan kawan sendiri. Ironi, bung. Bahkan ketika perdamaian banyak digaungkan, korban tetap ada.

Jika perdamaian adalah jalan salah satunya. Saya kira, butuh kekonsistenan yang amat baik. Bukan untuk mencari aman atas desakkan pihak keamanan atau para politisi yang ingin mencari pamor.

Dengan kebijakan melarang rival datang ke kandang lawan dan masih banyaknya korban yang jatuh, saya kira, harus ada kebijakan baru.

Apalagi, jika melihat ke Inggris, negara industri sepakbola terbaik, menurut saya. Mempunyai rival adalah hal yang lumrah, jangankan kedaerahan, agama pun turut dijadikan alasan. Namun di sana tetap bisa saling mengunjungi ke kandang rival.

Juga mengingat ketika melawan persija pada tahun 2009 di Malang dan 2013 di Sleman, serta dua kali final di GBK yang walaupun bukan melawan persija tapi menurut saya lebih bahaya jika kuantitas the jak menjadi acuan. Bukankah di keempat pertandingan itu nihil korban yang meninggal?

Saya kira, memang butuh kebijakan baru dan yang menjadi sorotan saya ada di pihak keamanan. Maukah berkerja ekstra seperti di Malang, Sleman serta pada saat final Piala Presiden dan Bhayangkara cup?

Menyalahkan supporter saja tidak cukup, apalagi hanya menyuruh untuk berdamai. Sepengetahuan saya, konflik yang kebablasan ini adalah cerminan dari kehidupan sehari-hari. Coba cari tahu tentang tawuran di Jakarta dan pinggirannya. Apakah semuanya berlandaskan sepakbola?

Semoga yang berteriak tentang kejadian kemarin apalagi di media sosial bukan hanya emosi sesaat apalagi hanya ikut-ikutan, terutama untuk para calon pemimpin daerah yang malah membuat masalah tidak pernah terselesaikan dan hanya membuat keriuhan sesaat saja.

Ah! Anjing! Ketotolan yang membuat kemenangan terasa hambar. Padahal gol Bojan Malisic pada menit terakhir itu sungguh layak diperbincangkan berhari-hari setelah pertandingan, bukan malah kejadian bodoh yang dijadikan topik perbincangan yang berlarut-larut dan tanpa solusi yang signifikan.

Rabu, 01 Agustus 2018

Jayalah Selalu!

Selasa, 31 Juli 2018. Dalam perjalanan pulang menuju Bandung dari Bantul. Bersama kawan-kawan yang sama-sama menyukai PERSIB. Roda kereta berputar sangat pelan di sekitaran Tasikmalaya-Garut oleh sebab medan yang berkelok dan tebing-tebing tinggi. Dibumbui pemandangan hijau yang menakjubkan, saya mulai merangkai untaian kata ini.


Saya bukan orang yang sangat senang mencoba hal-hal baru. Apalagi mengunjungi tempat baru. Pun dalam hal keseharian, saya lebih menyukai menghabiskan waktu pada hal-hal serta tempat yang sama, mungkin cara adaptasi saya tak sebaik orang-orang yang sangat mudah menemukan hal-hal menyenangkan di tempat barunya.

Sangat beruntung dan bersyukur dari sejak kecil sudah diperkenalkan kepada PERSIB oleh lingkungan sekitar, termasuk ayah saya sendiri yang lebih sering mengeluarkan kata umpatan dari pada pujian kepada PERSIB seperti "butut!", "lumpat we tarik ari najong kamana wae", sampai untaian kata rasa syukur yang saya masih ingat sampai hari ini adalah "Alhamdulillah, hadelah eleh, meh diganti pelatihna", bersyukur pas eleh 😅.

Lingkungan memang begitu berpengaruh, dari mulai keluarga, tetangga sampai lingkungan sekolah pun obrolan PERSIB tak pernah terlewatkan. Kalah atau menang pasti menjadi bahan obrolan, eleh ngutruk, meunang arogan. Koran adalah media utama yang menjadi bahan obrolan itu. Hampir setiap pagi, hal pertama yang saya cari sesudah bangun tidur adalah koran, dan yang sangat sering saya baca adalah berita olahraganya, terutama PERSIB.

Sangat bersyukur telah dilahirkan dan tumbuh di lingkungan tersebut. Jika tidak, mungkin takkan banyak pengalaman yang bisa saya dapatkan termasuk mengunjungi banyak tempat.

Medan, Padang, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Madura, Balikpapan, Kutai, Samarinda adalah beberapa tempat yang telah saya kunjungi lewat darat, laut serta udara dengan berbagai moda transportasi dari mulai pesawat terbang, kapal laut, kereta, bus, mobil, dan juga truk! Nama terakhir boleh dibilang kurang nyaman jika digunakan sebagai pengantar manusia dari satu tempat ke tempat lainnya apalagi dengan jarak yang tidak dekat. Namun, di balik ketidaknyamanan itu ada pengalaman-pengalaman yang lebih berharga untuk diketahui dan nikmati dari pada sekedar duduk bersandar dalam kenyamanan, ada keriangan, perjuangan, juga insiden-insiden memalukan atau menyakitkan yang malah menjadi sangat asyik untuk ditertawakan di masa mendatang.

Jika boleh menyortir, Palembang, Jakarta dan Medan berada diurutan paling depan dalam hal banyaknya kenangan yang asyik untuk diceritakan. 

Palembang

Tempat yang menjadi saksi untuk pertama kalinya saya menyaksikan bagaimana bangganya melihat PERSIB mengangkat piala kejuaraan tertinggi di Indonesia. Hampir seminggu saya habiskan waktu di pulau Sumatera itu. Dari semifinal yang dihelat pada tanggal 4 November melawan Arema. Pertandingan yang sangat menegangkan karena Arema sempat unggul hampir 40 menit di babak kedua, sampai akhirnya Vladimir Vujovic dengan rasa inginnya yang kuat untuk tidak kalah menyamakan kedudukan di menit 83. Dan gol krusial nan indah yang tercipta oleh pemain bernomor punggung tujuh di awal babak pertama tambahan waktu serta gol mudah dari Konate mengantarkan Persib ke Final Liga Indonesia untuk pertama kalinya setelah 19 tahun yang kelam.

Atmosfer pertandingan pada waktu itu sungguh luar biasa. Suasana tribun terbaik yang pernah saya alami. Sebelum pertandingan, kami melakukan hal yang membuat bulu kuduk merinding, kami berkumpul di salah satu tempat yang diakhiri dengan pekikkan "Bagimu PERSIB Jiwa Raga Kami", lalu berjalan tanpa mengenakan atribut biru (akibat sanksi) bersama-sama menuju stadion dengan tanpa henti mengumandangkan Halo-halo Bandung serta chant lainnya.

Kami menduduki tribun selatan, dengan bertelanjang dada menguasai seluruh stadion dengan suara kami. Pendukung Arema berada di tribun utara dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibanding Bobotoh, hal itu yang menyebabkan suara kami tak tertandingi. Suara PERSIB selalu menggema ketika kami teriakkan, apalagi ketika mengumandangkan lagu anak yang berjudul Suka Hati yang diubah liriknya. Setelah lirik "kalau kau suka PERSIB, bilang PERSIB", kami berteriak "PERSIB" sekencang-kencang sampai benar-benar bergema. 

Babak pertama kami kuasai dengan beragan chant, sampai akhirnya pada awal babak kedua kami terdiam, tak ada gairah untuk mengeluarkan suara. 35 menit yang menyebalkan. Setelah itu, setelah gol pembangkit semangat yang diciptakan Vlado, kami mulai menguasai stadion kembali. Chant "Singanya jadi kucing" menjadi sebuah ledekkan yang paling pas, disusul chant "yang kalah pulang" setelah gol kedua. Langit Palembang yang biasanya berasap akibat kebakaran hutan menjadi sangat indah pada malam itu.

Setelah pertandingan, kami ditahan untuk tidak keluar stadion terlebih dahulu. Kami merayakan kemenangan dengan para pemain yang menghampiri kami di tribun selatan. Momen yang sangat luar biasa, sampai kami lupa bahwa di final akan menghadapi Persipura. Sebelum keluar stadion, saya berbincang dengan seorang polisi yang berjaga di pintu keluar, lalu ia berkata bahwa final akan tetap digelar di Palembang. Itu berarti kami harus menunggu tiga malam di Palembang sebelum hari pertandingan. Tak terbesit sedikitpun untuk pulang, saya bersama kawan-kawan memilih menyewa penginapan. Pilihan bertahan di Palembang adalah pilihan terbaik, selain tidak perlu lelah bulak-balik Palembang-Bandung-Palembang untuk kembali menyaksikan partai final yang tidak mungkin saya lewatkan, saya jadi bisa mengetahui kerasnya kehidupan di Palembang, juga meriahnya malam hari di sekitaran jembatan Ampera dan mencoba pempek asli Palembang. 

Tiga malam berlalu dengan lambat, apalagi malam hari sebelum partai final dihelat, tak bisa tidur. Final diberlangsungkan pada hari Jumat, sebelum berangkat ke stadion, saya melaksakan shalat Jumat terlebih dahulu, yang membuat spesial adalah ternyata banyak orang Bandung yang memakai atribut PERSIB di masjid dekat penginapan. Padahal jarak dari penginapan saya ke stadion bukan merupakan jarak yang dekat. Oleh karena alasan itu, saya dapat mengkonfirmasi pernyataan yang mengatakan bahwa penginapan-penginapan di sekitaran stadion memang benar-benar penuh. Kalaupun ada yang kosong, harganya pasti melambung tinggi.

Saya berangkat ke stadion dengan menyewa angkutan umum yang tempat duduknya tidak seperti angkot-angkot di Bandung. Jika tempat duduk angkot di Bandung saling berhadapan antara penumpang, di Palembang tempat duduknya tak dimodifikasi layaknya di Bandung, tetap menghadap ke depan.


Di final kami langsung masuk stadion tanpa berkumpul di satu tempat lalu berjalan bersama-sama sampai masuk stadion layaknya semifinal. Mungkin karena Bobotoh yang datang ke stadion lebih banyak dari pada Semifinal. Saya mendapatakan tiket tribun timur. Seingat saya, hanya tribun utara saja yang tidak penuh serta sebagian samping utara diisi oleh pendukung Persipura dan mungkin warga sekitar yang ingin mendapatkan hiburan di tribun VIP, sisanya adalah makhluk-mahkluk yang ingin melihat Piala yang berada di pinggir lapangan itu pulang ke tempat yang seharusnya yaitu Bandung!

Sebelum pertandingan dimulai, kami mengumandangkan Al-Fatihah yang dilanjutkan dengan pekikkan "Juara! Juara! Juara!" Allah mendengar, pada akhir pertandingan, kami yang menangis bahagia.

Jakarta

19 tahun dengan performa naik turun itu disuguhi oleh cerita-cerita akan kehebatan Persib medio 80-90. Terselip cerita tentang bagaimana macetnya jalan raya menuju GBK. Serta riuhnya warga Bandung yang tak bisa berangkat ke Jakarta lalu berdiri dipinggir jalan mengantar supporter yang berangkat mendukung PERSIB. "Rasanya seperti suasana revolusi dulu" adalah ungkapan seorang kakek-kakek sambil menggelengkan kepala sembari duduk dipinggir jalan melihat kesamaan suasana ketika revolusi dengan semangat Bobotoh saat berangkat ke GBK yang dikutip dari koran Kompas oleh Aqwam Fiazmi Hanifan dan Novan Herfiyana dalam bukunya yang berjudul Persib Undercover.

Saya memang tidak mengalami kemacetan ketika menyambangi GBK pada partai Final Piala Presiden tahun 2015 karena sudah tersedianya jalan bebas hambatan a.k.a Tol. Namun, cerita kakek-kakek itu saya alami betul. Di perjalanan, banyak anak kecil, dewasa sampai lansia yang berdiri di pinggir jalan hanya untuk sekedar melambaikan tangan atau bernyanyi Halo-halo Bandung sambil mengibarkan bendera. Pada waktu itu, ada air yang ingin keluar dari sekitaran mata, air yang ingin mengatakan bahwa saya adalah pelaku sejarah bukan sekedar pendengar atau pembaca sejarah lagi.

Kami menguasai Gelora Bung Karno, jika saja armada untuk mengantarkan kami ke Jakarta tidak terkendala, kalimat heroik "sesuai kapasitas GBK" yang diucapkan oleh Herru Djoko ketika ditanya berapa banyak Bobotoh yang akan datang ke partai final benar-benar akan terealisasi. 

Pertandingan begitu mudah. Setelah 20 tahun lamanya, PERSIB kembali mengangkat Piala di Ibukota Indonesia beserta puluhan ribu Bobotoh.

Medan

PSMS adalah musuh bebuyutan PERSIB, begitulah banyak orang menyebutnya. Setelah sekian lama menghilang dari divisi teratas liga Indonesia, pada musim 2018, PSMS kembali menghangatkan kompetisi teratas se-Indonesia itu. Pertemuan pertama terjadi di Bandung, Piala Presiden, dan PERSIB kalah dua gol tanpa balas.

Pertandingan selanjutnya, dihelat di Medan pada bulan puasa. Dalam lanjutan putaran pertama Liga 1 2018, pada partai sebelumnya, PERSIB kalah dikandang oleh Bhayangkara FC. Tanpa optimisme tinggi, saya menyambangi Medan, atas dasar sejarah yang sudah tumbuh sekian lama serta klasiknya stadion Teladan Medan, saya memutuskan untuk berangkat dengan membeli tiket pesawat pada hari-H keberangkatan. Berangkat sendirian dengan rasa khawatir akan ketinggalan pesawat oleh sebab pembangunan LRT yang mengakibatkan kemacetan di jalan bebas hambatan Bandung-Jakarta padahal waktu menunjukkan dini hari. Tiba 15 menit sebelum pesawat lepas landas, tanpa sahur saya harus sedikit lari untuk masuk pesawat lalu meninggalkan pulau Jawa.

Keputusan mendadak untuk pergi ke Medan sangat tidak mengecewakan. Mendapatkan kemenangan dengan 3 gol tanpa balas. Dendam Piala Presiden terbalaskan, malah dileuwihan sagol! Selain kemenangan besar di kandang lawan, ada cerita-cerita yang menarik untuk diceritakan. 

Kultur sepakbola Medan memang sudah mengakar sangat lama. Jika di Bandung tepuk tangan akan diberikan ketika pemain membuat peluang, melakukan pergerakan yang memukau atau menggagalkan serangan. Di Medan ada satu hal yang unik yaitu apresiasi akan diberikan jika ketika pemain lawan menguasa bola lalu pemain PSMS berinisiatif mengambil bola dengan 'sekali ambil', tanpa delay, Rap-rap!

Juga tepat di hadapan saya, seorang bapak membawa anaknya ke stadion, anak yang sangat ekspresif, seringkali bertepuk tangan serta melompat-lompat, sayang sekali saya tidak berkesempatan untuk memotret akibat pertandingan yang seru, terbesit untuk akan meminta foto sehabis pertandingan, namun, rencana hanya sekedar rencana, sebelum pertandingan selesai, bapak dan anak itu sudah meninggalkan stadion terlebih dahulu beserta ribuan pendukung PSMS lainnya, bentuk kekecewaan yang tak dibuat-buat. Di lain tempat, sungguh menyesakkan melihat bagaimana orang-orang yang menasbihkan dirinya sebagai fans bola lalu mengekspresikan dirinya dengan turun ke lapang, menghampiri pemain lalu menangis, kemudian fotonya menyebar, dan oleh yang bersangkutan diposting di media sosialnya dengan bangga,  HIH!

Setelah pertandingan, (mungkin) ratusan orang melakukan aksi di depan tribun VIP, tepat di depan para pemain menaikki bus. Mereka menuntut adanya revolusi di jajaran manajemen bukan menuntut pergantian pelatih. Sebuah penegasan sikap yang amat baik, saya kira.

Selain kejadian unik di lapangan sepakbola. Saya mendapat pengalaman baru tentang cara orang Medan mengemudikan kendaraannya. Saya kira Jakarta atau bahkan Bandung adalah tempat terbising akan suara klakson. Perkiraan saya salah, Medan lebih dari itu, belum lagi cara belok yang terkadang membuat kaki saya sebagai bukan pengemudi tiba-tiba seperti menginjak rem.

Hal-hal seperti itulah yang membuat menyambangi tempat lain sembari Lalajo Maung sangat mengasyikkan. Ditambah bisa menikmati makanan khas di daerah tersebut seperti Kaldu di Madura, Tahu Tek di Balikpapan, Sate Klatak di Bantul atau Gudeg dan makanan lainnya.

Orang lain bisa menyanggah bahwa tanpa PERSIB pun masih bisa menyambangi banyak tempat begitupula pengalaman yang bisa datang dari mana saja. Namun, seperti apa yang telah diceritakan di atas, saya bukan termasuk orang yang senang melakukan hal baru. Dan PERSIB bukanlah hal baru buat saya. Semoga PERSIB terus jaya dalam hal prestasi di lapangan agar gairah ngabobotohan ini terus hidup dan banyak lagi tempat-tempat baru yang bisa saya kunjungi dengan keunikan karateristiknya. Makassar, Papua, Malaysia, Singapura, Thailand dan lainnya. Semoga!

Terimakasih Tuhan atas segala nikmat ini.

Jayalah selalu, PERSIB!

Senin, 28 Mei 2018

Awas, Bahaya Laten Wasit Goblog! Serta Menyoal Nyali Yang Banyak Alibi

Sebuah kisah dari negara yang para prianya sangat memperhatikan penampilan, sehingga dari negara itupun kita jadi mengenal Vespa, Prada atau Renzo Piano. Namun, di negara tersebut gaya permainan sepakbolanya berbanding terbalik dengan penampilan sehari-harinya, setidaknya bagi yang menganut paham bahwa bermain bertahan adalah permainan yang nilai estetisnya lebih rendah dari cara bermain menguasai pertandingan ataupun menyerang. 
Negara tersebut adalah Italia. Seperti apa yang dipaparkan Franklin Foer dalam bukunya "How Football Explain the World" bahwa dengan pengabdian yang begitu tinggi atas kenikmatan estetis, sungguh mengherankan bahwa sifat ini justru absen dari gaya nasional persepakbolaan mereka.

Menurutnya, gaya bermain bertahan atau yang sering disebut sebagai catenaccio di Italia itu bermula pada tahun 1960. Dalam strategi tersebut para pemain difokuskan dalam bertahan serta gol dicetak melalui serangan balik sehingga gol yang tercipta dalam satu pertandingan pun jarang sekali lebih dari satu atau dua. Oleh karena selisih gol dalam penentu siapa yang menang menjadi sangat minim, sehingga para pemain pun jadi harus berbuat segala cara termasuk jatuh di dalam kotak penalti dengan penuh harap agar wasit menunjuk titik putih.

Bahkan komite yang tugasnya menyortir nama-nama wasit ternyata dibeking oleh klub-klub paling berkuasa di Italia. Sehingga, pada 1999, salah satu surat kabar di Italia melaporkan salah satu klub membagi-bagi arloji Rolex seharga 13.500 dolar kepada beberapa wasit. Menurut surat kabar tersebut, kejadian itu dijuluki "Malam Jam Tangan" dan tak ada satu pun dari wasit yang menerima lalu mengembalikan jamnya tersebut..

Oleh karena seringnya kejadian tersebut, maka para stakeholder sepakbola Italia melakukan inovasi seperti koran-koran yang membuat catatan statistik serta mengeluarkan peringkat dengan tanda bintang untuk menilai kinerja wasit. Bahkan ada salah satu stasiun televisi membuat program berjudul "Il Processo" (pengadilan), yaitu program televisi yang mengumpulkan dewan juri untuk menilai keputusan-keputusan wasit. Program Il Processo tersebut berkali-kali mengulang rekaman pertandingan yang diperlambat agar bisa melihat apakah pemain benar-benar dilanggar atau pura-pura terjatuh, atau juga melihat tayangan ulang dari berbagai sudut untuk membuktikan kebenaran keputusan offside.

Nampaknya, inovasi tersebut dapat ditiru agar post-match para allenatore tak terbagi menjadi dua bagian yang saling bertentangan. Bagian pertama (tim kalah) yang menyatakan bahwa "kepemimpinan wasit sangat tidak menguntungkan bagi kami" atau "jika saja tidak ada penalti, kita sudah pasti menang" atau juga "Gol offside itu meruntuhkan mental kami". Lalu post-match bagian lainnya (tim menang) berungkapan bahwa "Tanpa penalti itupun kita akan tetap menang karena kita sudah unggul sebelum penalti tersebut".

Sangat membosankan membaca post-match seperti itu. Sampai Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomicsnya pun menegaskan bahwa "Sang manajer mengetahui bahwa kebanyakan surat kabar lebih suka membahas perselisihan antar pribadi ketimbang taktik. Itulah sebabnya, laporan pertandingan akan lebih diarahkan pada konferensi pers alih-alih pada buruknya kinerja dari tim yang kalah”

Apalagi bagi Bobotoh yang akhir-akhir ini sering menyesalkan keputusan kontroversi sang pengadil lapangan. Wajar kiranya apabila beberapa kawan Bobotoh mengkhawatirkan hal terkait menjelang pertandingan melawan klub semenjana, Persija (yang pada saat beberapa waktu lalu diungkap media daring Tirto.ID, serta ditemukan bukti adanya keterlibatan dengan lord Djoko Driyono). Bahkan hari ini beredar isu laga tersebut akan ditunda! Kabarnya, pihak keamanan khawatir karena laga tersebut berdekatan dengan perayaan hari buruh internasional atau yang biasa disebut MayDay. Namun setelah ditelisik lebih dalam, bisa jadi hal itu hanyalah akal-akalan mereka yang kelelahan setelah piknik di Geylang sembari berswafoto di patung singa.

Apalagi narasi yang dibangun oleh Coach Gomez akhir-akhir ini sangat optimistik menghadapi pertandingan tanggal 28 nanti. Pun jika melihat daftar pencetak gol Liga 1 2018. Juga dengan pemberitaan di media daring akhir-akhir ini yang seperti memperlihatkan ketakutan tim lawan akan absennya dua pilar mereka. Sehubungan dengan hal di atas, semoga dengan meniru inovasi surat kabar atau program televisi di Italia, dapat menurunkan tingkat kesuudzonan terhadap sang pengadil lapangan yang menguntungkan tuan rumah.

Karena bukan suatu hal yang mustahil, kegoblogan pengadil lapangan di Manahan Solo musim lalu terulang kembali. Bahkan kejadian serupa menghinggapi perasaan Bobotoh, dua minggu silam, pada lanjutan pertandingan liga 1 melawan Arema di Kanjuruhan. Saat itu juru gedor baru kita, Joni Bauman dijatuhkan dikotak penalti, pun meng-sah-kan gol kedua arema yang jelas, berbau offside jika dilihat di tayangan ulang yang posisi kameranya tak cukup baik untuk digunakan dalam menilai offside atau tidak. Hal itu menandakan para pengadil di lapangan hijau di Indonesia belum bergerak kearah perbaikan.

Mengutip yang dikatakan Leo Tolstoy, bahwa hidup ini adalah perubahan terus menerus, menuju sesuatu yang tidak kita ketahui. Akal manusia terkadang tidak tahan dengan perjuangan yang tiada akhir itu. Ia sering menyerah, lalu mencari penyelesaian mudah. Seperti yang dilakukan klub semenjana, Persija, saat menjegal beberapa kontestan Liga 1 musim lalu.

Memang, mereka memiliki keterkaitan dengan orang nomor dua di otoritas sepakbola Indonesia. Saya kira, wajar saja Bobotoh khawatir akan hal itu. Namun, setelah merepotkan Arema, pun menenggelamkan Borneo FC minggu kemarin, publik tahu siapa sesungguhnya chief kesebelasan kebanggaan Bobotoh sekarang, ya siapa kalau bukan Roberto Carlos Mario Gomez.

Andai akhir pekan kemarin pertandingan tidak jadi ditunda lantaran beberapa pemain andalan mereka harus absen, maka, Persib kami akan menggebuk Persija di Senayan. Percayalah Roh-Roh Senayan bersama Persib karena sesungguhnya Senayan adalah Kandang kedua bagi Persib. Pun bobotoh yang masih memegang Rekor penonton terbanyak di stadion kebanggaan rakyat Indonesia tersebut, karena data jumlah penonton terbanyak 125.000 Final Perserikatan 1986 dan Final Perserikatan 1994 tercatat sebagai rekor yg mustahil di lewati supporter manapun. 

Kemudian setelah keluarnya kabar diundur menjadi tanggal 30 Juni, CEO tim sana kembali mengeluarkan statement yang menginginkan Persib menjadi tuan rumah terlebih dahulu, kenapa bukan sebelum tanggal 28 April keinginan tersebut disuarakan? Alangkah baiknya apabila manajemen Persib tidak menerima begitu saja wacana tersebut, bukankah selama ini mereka sering berkoar-koar perihal nyali? Jadi siapa yang sebetulnya takut? Silahkan tafsirkan sendiri. Dan apalagi yang mau diperdebatkan setelah laga tersebut ditunda? sudah jelas, Persija takut kalah! 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ditulis bersama kawan bernama Yogi Esa. Dimuat juga di Halik Ku Aing Zine (dulu Akar Rumput Zine)

Minggu, 27 Mei 2018

Andrea Pirlo: I Think Therefore I Play

Sejak kecil saya lebih menyukai liga Italia dari pada Inggris. Begitu pula dengan tim favorite yaitu AC Milan. Mungkin untuk sekedar ada kesebelasan yang bisa diandalkan di kala bertarung di game Winning Eleven PS1 bersama kawan-kawan. Karena jika hanya menasbihkan diri sebagai Bobotoh, maka takkan ada hal yang beda, karena kawan saya pun pastilah sebagai penggemar Persib juga, berikut dulu Persib belum tersedia di salah satu kesebelasan yang bisa dimainkan di game Winning Eleven.

Ingatan di masa kecil menyebutkan bahwa AC Milan adalah raksasa Eropa, dengan Dida di bawah mistar gawang, lalu ada Maldini, Nesta, Cafu, Jaap Stam di barisan belakang. Pun dengan lini tengahnya yang begitu megah, ada Kaka yang bermain sangat baik menggantikan peran Rui Costa, juga Seedorf serta Rino Gattuso. Lalu, Shevchenko dan Pipo Inzaghi sebagai mesin gol. Ada nama yang tak mungkin untuk tidak disebut diantara nama-nama megah tersebut, ialah Andrea Pirlo, nama yang sering mengisi kesebelasan Master League di Winning Eleven PS1 yang saya mainkan.
Kebetulan, di hari tulisan ini diposting, saya baru selesai membaca buku Andrea Pirlo: I Think Therefore I Play. Tidak hanya hal-hal baru yang saya dapatkan ketika membaca buku tersebut, juga ada kenangan masa kecil yang teringat.

Buku tersebut terdiri dari 20 bab. Baginya, angka 21 sangat sakral. Angka tersebut adalah tanggal kelahiran Ayahnya, tanggal pertama kali ia debut di Serie A, juga tanggal ia melangsungkan pernikahannya. Sehingga, ia hanya menulis hingga bab 20 dengan harapan bab 21 akan kembali ditulis dengan cerita indah lainnya.

Di buku tersebut diawali oleh pengantar yang ditulis Cesare Prandelli, pelatih Timnas Italia di kala itu. Menurut Prandelli, ia telah melihat bakat besar yang dimiliki Pirlo sejak Pirlo bermain di tim junior Brescia. Ia menuliskan bahwa pada saat itu ia mendapat kabar dari salah satu asistennya bahwa ada pemain yang begitu bagus. Sayangnya pemain itu bermain di Brescia, kesebelasan yang akan bertandingan melawan kesebelasan Prandelli. Prandelli memang benar-benar kagum ketika pertama kali melihat permainan Pirlo yang padahal bermain tidak dengan pemain seusianya. "Bakat Baru" begitulah ia menuliskannya.

Buku itu ditulis ketika Pirlo berseragam Juventus. Di bagian awal, ia menuliskan cerita tentang perpindahan dari Milan ke Juve. Tersirat ia sebetulnya ingin bertahan di AC Milan, ketika bernegoisasi untuk memperpanjang kontrak di Milan, Pirlo tak pernah sedikitpun membahas perihal materi, yang ia inginkan hanyalah kontrak yang tak sekedar satu musim, seperti yang AC Milan tawarkan. AC Milan kukuh dalam penawarannya, sehingga Pirlo memutuskan untuk menerima pinangan Juventus dengan kontrak tiga tahun. Pirlo bisa saja kembali ke Inter, andai Inter Milan bisa bergerak cepat dan serius dalam bernegosiasi.

Ia juga bercerita bahwa ia hampir akan bermain di Madrid dan Barcelona. Kesebelasan yang diimpikan ketika muda. Bermain di dua kesebelasan hebat tersebut bukan hanya impiannya, teman-teman kecilnya pun berharap demikian. Spanyol adalah harapan bagi sebagian pesepakbola muda Italia. Dan Pirlo hampir saja merealisasikan harapan di kala kecilnya. Madrid ketika ditangani Fabio Capello sangat menginginkan jasa Pirlo. Jika Galliani tidak memberikan draft kontrak yang pada kolom gajinya sengaja dikosongkan untuk diisi sendiri oleh Pirlo serta penawaran kontrak lima tahun, mungkin Pirlo ketika itu sudah menjadi bagian dari Madrid. Begitu pula dengan Barca-nya Pep Guardiola yang harus mencari pemain lain untuk mengisi transfer Pirlo yang gagal oleh sebab Milan yang teguh untuk tetap mempertahankan gelandangnya tersebut.

Pirlo juga bercerita tentang masa sulitnya ketika belajar sepakbola di Brescia, ia dikucilkan, jarang dioper bola padahal posisinya sudah ideal, bahkan sering dikasari, bukan karena Pirlo bertingkah buruk, namun, karena Pirlo terlalu hebat padahal ia bergabung dan melawan pemain diatas usianya. Pemain-pemain yang usianya diatas Pirlo cemburu dengan apa yang bisa dilakukan oleh Pirlo. Di masa sulitnya itu, Pirlo marah dan hanya punya pilihan: berhenti atau terus bermain. Ia pilih yang kedua. Terus bermain, mengejar bola lalu ia cetak gol sendirian, melakukan hal yang tak bisa dilakukan oleh rekannya.

Yang paling menarik, menurut saya, adalah ketika menceritakan hal-hal takhayul. Cerita tentang rekannya, bukan Pirlo yang mempercayai hal itu. Ada kisah mengenai sepatu tua nan butut milik Gilardino yang harus Gilardino bawa setiap pertandingan, jika lupa tak dibawa, Gila lebih memilih meminta ke pelatih untuk duduk di bangku cadangan, alias menolak untuk bermain. Juga kisah Pipo Inzaghi yang harus selalu buang hajat di ruang ganti pemain, bukan hanya sekali tapi bisa sampai empat kali, sampai rekan-rekannya berkata "memangnya kau makan apa, sih, bangkai?". Juga Pipo yang menyukai makanan bayi dan selalu tidak memakan dua potong biskuit terakhirnya. Atau cerita Sebastiano Rossi yang melarang siapapun untuk berjalan di belakangnya ketika melakukan pemanasan sebelum bertanding.

Juga ada kisah mengenai betapa kecewanya Pirlo ketika kalah oleh Liverpool di Final Champions League. Saking kecewanya, ia sampai terpikirkan untuk berhenti bermain sepakbola. "Sometimes you win, sometimes you learn" untaian kata bijak tersebut tidak berlaku bagi Pirlo, karena hanya kata "berengsek", kata yang muncul ketika Pirlo mencoba mengambil hikmah dari kekalahan itu, walau dua musim selanjutnya Milan beserta Pirlo bisa membalaskan dendam dengan menjuarai Champions League dengan lawan yang sama di partai final.

Ada kritikan juga di bukunya Pirlo. Ia mengutuk aksi para supporter di Italia yang sering bertingkah diluar batas. Jika berlaga di kandang lawan, dari hotel ke stadion, Pirlo sangat tidak nyaman karena selalu dikawal oleh polisi dengan sirine dan lampunya. Jika ada yang ingat aksi jakmania pada tahun 2013 yang melakukan aksi pelemparan ke bus Persib. Pirlo juga pernah merasakan hal yang sama. Namun, tak seperti apa yang dialami Persib, kaca bus yang Pirlo tunggangi cukup kuat untuk menahan lemparan bongkahan batu.

Pirlo juga mengutuk aksi rasis yang sering digunakan oleh para supporter untuk menjatuhkan mental lawannya. Pirlo sangat senang dengan aksi Balotelli ketika melawan rasisme. Balotelli akan menunjuk bibir/kulit ketika mencetak gol atau juga tertawa ketika ada yang berteriak rasis kepadanya. Tindakan itu, menurut Pirlo, akan membuat tindakan orang yang berteriak rasis menjadi sia-sia.

Juga banyak kisah lainnya, seperti Pirlo yang belajar free kick dari mengamati cara Juninho menendang. Juga cerita tentangnya yang tak menyukai pemanasan. Dan lainnya. 

Sebagai pengagum AC Milan dan Pirlo di kala kanak-kanak, buku ini menarik untuk dibaca, sehingga jadi mengetahui kenapa ia menyeberang ke Juve. Tak seperti kisah Eka Ramdani, walaupun sudah kembali ke Persib tapi kisah perpindahannya ke Persisam bagi saya yang awam masih tak jelas sampai sekarang.

Sekian. Tabik!

Kamis, 05 April 2018

Sosok pada diri Firman Utina

Firman Utina, bagi penyuka sepakbola lokal nama tersebut takkan asing, apalagi bagi publik Bandung yaitu para penggemar Persib. Pada musim 2013, setelah Abah Djanur ditunjuk sebagai pelatih, nama Firman Utina masuk kedalam daftar pemain pada musim itu.

Awalnya, saya sedikit pesimis dengan masuknya Bang FU, ada beberapa faktor, seperti usia yang akan berpengaruh kepada kondisi fisik, juga banyaknya tim yang telah beliau bela, malah saya pernah baca di salah satu akun media social, saya lupa nama akunnya, akun tersebut menolak kedatangan Bang FU dengan alibi bahwa Firman Utina takkan bermain dengan hati karena beliau adalah pekerja sepakbola.

Bahwa benar jika kritikkan atau cacian tidak perlu dibalas dengan argumentasi tapi dengan tindakan. Dan Bang FU melakukan itu. Atau mungkin saya yang tidak membaca kabar tentang argumentasi balasan Bang FU terhadap kritikkan, seperti apa yang dilakukan oleh salah satu pemain Persib dengan membuat kaos dengan tulisan "where are you when we lose?".

Setahu saya Bang FU adalah sosok yang bisa mendinginkan kondisi tim jika sedang panas, memanaskan kondisi tim jika sedang dingin, mencairkan suasana dengan candaannya, dan juga sosok yang bisa membuat pemain lain hanya memikirkan bagaimana mereka memberikan permainan terbaik, sisanya Firman Utina yang atur.

Ada satu kisah yang bisa saya bagi mengenai peran Bang FU dalam mendinginkan kondisi tim jika sedang panas. Kondisi tersebut terjadi pada saat itu Vlado tidak ditemani Jupe dalam mengawal pertahanan Persib, kalau tidak salah saat pertandingan AFC Cup di Jalak Harupat, saya ingat betul pada saat itu karena posisi saya di tribun tepat di depan pertahanan Persib, beberapa kali Vlado menunjukan gerak tubuh kecewa kepada tandem center backnya tersebut. Dan puncaknya ketika lawan bisa mencetak gol, adu mulut pun berlangsung ditengah lapangan bahkan ketika pertandingan belum selesai, ketidakharmonisan yang sangat parah saya kira. Setelah pertandingan Firman Utina menghampiri Bobotoh yang sedang berada di Stadion Persib, salah satu Bobotoh ada yang bertanya mengenai insiden tersebut. Dengan kalemnya beliau menjawab “Saya sudah sarankan kepada pelatih untuk melihat tayangan ulang pertandingan tadi, jadi bisa tau apa yang salahnya agar tidak subjektif” hasilnya: Tim tetap kondusif!

Untuk memanaskan kondisi tim jika sedang dingin atau agar tetap panas, saya kira banyak contohnya yang mungkin bisa dilihat dibeberapa tayangan ulang, seperti teriakkan-teriakkan ketika Persib kebobolan atau gerakkan tangan yang menunjukkan untuk tetap berkonsentrasi ketika sudah mencetak gol.

Apalagi kisah tentang bagaimana Bang FU mencairkan suasana. Adakah yang pernah melihat pemain Persib yang sekarang melakukan foto selfie yang dilakukan oleh satu tim? Coba lihat apa yang dilakukan oleh seluruh tim pada latihan perdana untuk menghadapi turnamen Piala Presiden yang pertama. Nginget-ngingetna ge resep, komo deui mun ayeuna jiga kitu.

Apalagi jika mengingat ketika Persib berhasil memenangkan pertandingan semifinal LSI 2014 melawan Arema, euphoria pemain sangat tinggi, bahkan sampai menangis haru, seakan Persib sudah juara, padahal baru memenangkan semifinal, bukan final! Firman Utina (kapten sesungguhnya pada masa saat tertinggal 2 gol pun bisa membalikkan keadaan, bukan seperti sekarang, sudah unggul malah jadi kalah) menyadari bahwa hal tersebut terlalu berlebihan karena euphoria yang sedang tim Persib alami tersebut sama dengan apa yang dirasakan ketika Sang Kapten membela Timnas dan mantan timnya masuk final yang berakhir dengan Runner Up. Sebagai pemain senior, dengan kebijaksanaanya, beliau menyarankan kepada pelatih dan manager untuk bisa sedikit meredam euphoria tersebut dan hasilnya: JUARA!

Mungkin banyak kisah lainnya yang lebih heroik dan mungkin juga kisah yang saya ceritakan terlalu hiperbola. Namun miris rasanya jika mendengar cerita salah satu rekan wartawan yang mewawancarai tentang aksi pemasangan spanduk "Soler Out"di saat latihan Persib di Arcamanik kemarin. Rekan wartawan tersebut bercerita kepada saya bahwa Arkan yang memasang spanduk tersebut malah mendapat acungan jempol dari salah satu pemain dan beberapa official tim serta senyuman dari pemain lainnya. Saat ini, saya kira ada yang salah dalam keharmonisan di tim Persib.

Dan keharmonisan tim itu sangat penting. Seperti apa yang Ahmad Jufriyanto katakan ketika ditanya mengenai Kas Hartadi atau Djajang Nurjaman dalam wawancaranya bersama Footballtribe. Jupe malah menjawab "Ini yang selalu saya percaya. Untuk bisa jadi juara terkadang bukan soal kemampuan pelatih dalam urusan taktikal saja. Ada hal yang lebih esensial lagi. Salah satunya adalah bagaimana bisa merangkul pemain untuk menjadi satu kesatuan. Jadi nantinya mereka bisa mengeluarkan yang terbaik di lapangan. Dan menurut saya, baik Pak Kas (Hartadi) ataupun Pak Djanur punya kemampuan itu. Mereka bagus dalam pendekatan personal kepada pemain. Mereka bisa merangkul seluruh tim. Secara pribadi dua-duanya pelatih hebat buat saya."

Dengan alasan-alasan tersebut, saya kira Persib sekarang memang butuh SOSOK!

--------------------------------------------

Juga dimuat di Web VikingPersib Club dan Halik Ku Aing Zine