Selasa, 31 Juli 2018. Dalam perjalanan pulang menuju Bandung dari Bantul. Bersama kawan-kawan yang sama-sama menyukai PERSIB. Roda kereta berputar sangat pelan di sekitaran Tasikmalaya-Garut oleh sebab medan yang berkelok dan tebing-tebing tinggi. Dibumbui pemandangan hijau yang menakjubkan, saya mulai merangkai untaian kata ini.
Saya bukan orang yang sangat senang mencoba hal-hal baru. Apalagi mengunjungi tempat baru. Pun dalam hal keseharian, saya lebih menyukai menghabiskan waktu pada hal-hal serta tempat yang sama, mungkin cara adaptasi saya tak sebaik orang-orang yang sangat mudah menemukan hal-hal menyenangkan di tempat barunya.
Sangat beruntung dan bersyukur dari sejak kecil sudah diperkenalkan kepada PERSIB oleh lingkungan sekitar, termasuk ayah saya sendiri yang lebih sering mengeluarkan kata umpatan dari pada pujian kepada PERSIB seperti "butut!", "lumpat we tarik ari najong kamana wae", sampai untaian kata rasa syukur yang saya masih ingat sampai hari ini adalah "Alhamdulillah, hadelah eleh, meh diganti pelatihna", bersyukur pas eleh 😅.
Lingkungan memang begitu berpengaruh, dari mulai keluarga, tetangga sampai lingkungan sekolah pun obrolan PERSIB tak pernah terlewatkan. Kalah atau menang pasti menjadi bahan obrolan, eleh ngutruk, meunang arogan. Koran adalah media utama yang menjadi bahan obrolan itu. Hampir setiap pagi, hal pertama yang saya cari sesudah bangun tidur adalah koran, dan yang sangat sering saya baca adalah berita olahraganya, terutama PERSIB.
Sangat bersyukur telah dilahirkan dan tumbuh di lingkungan tersebut. Jika tidak, mungkin takkan banyak pengalaman yang bisa saya dapatkan termasuk mengunjungi banyak tempat.
Medan, Padang, Palembang, Yogyakarta, Surabaya, Madura, Balikpapan, Kutai, Samarinda adalah beberapa tempat yang telah saya kunjungi lewat darat, laut serta udara dengan berbagai moda transportasi dari mulai pesawat terbang, kapal laut, kereta, bus, mobil, dan juga truk! Nama terakhir boleh dibilang kurang nyaman jika digunakan sebagai pengantar manusia dari satu tempat ke tempat lainnya apalagi dengan jarak yang tidak dekat. Namun, di balik ketidaknyamanan itu ada pengalaman-pengalaman yang lebih berharga untuk diketahui dan nikmati dari pada sekedar duduk bersandar dalam kenyamanan, ada keriangan, perjuangan, juga insiden-insiden memalukan atau menyakitkan yang malah menjadi sangat asyik untuk ditertawakan di masa mendatang.
Jika boleh menyortir, Palembang, Jakarta dan Medan berada diurutan paling depan dalam hal banyaknya kenangan yang asyik untuk diceritakan.
Palembang
Tempat yang menjadi saksi untuk pertama kalinya saya menyaksikan bagaimana bangganya melihat PERSIB mengangkat piala kejuaraan tertinggi di Indonesia. Hampir seminggu saya habiskan waktu di pulau Sumatera itu. Dari semifinal yang dihelat pada tanggal 4 November melawan Arema. Pertandingan yang sangat menegangkan karena Arema sempat unggul hampir 40 menit di babak kedua, sampai akhirnya Vladimir Vujovic dengan rasa inginnya yang kuat untuk tidak kalah menyamakan kedudukan di menit 83. Dan gol krusial nan indah yang tercipta oleh pemain bernomor punggung tujuh di awal babak pertama tambahan waktu serta gol mudah dari Konate mengantarkan Persib ke Final Liga Indonesia untuk pertama kalinya setelah 19 tahun yang kelam.
Atmosfer pertandingan pada waktu itu sungguh luar biasa. Suasana tribun terbaik yang pernah saya alami. Sebelum pertandingan, kami melakukan hal yang membuat bulu kuduk merinding, kami berkumpul di salah satu tempat yang diakhiri dengan pekikkan "Bagimu PERSIB Jiwa Raga Kami", lalu berjalan tanpa mengenakan atribut biru (akibat sanksi) bersama-sama menuju stadion dengan tanpa henti mengumandangkan Halo-halo Bandung serta chant lainnya.
Kami menduduki tribun selatan, dengan bertelanjang dada menguasai seluruh stadion dengan suara kami. Pendukung Arema berada di tribun utara dengan jumlah yang jauh lebih sedikit dibanding Bobotoh, hal itu yang menyebabkan suara kami tak tertandingi. Suara PERSIB selalu menggema ketika kami teriakkan, apalagi ketika mengumandangkan lagu anak yang berjudul Suka Hati yang diubah liriknya. Setelah lirik "kalau kau suka PERSIB, bilang PERSIB", kami berteriak "PERSIB" sekencang-kencang sampai benar-benar bergema.
Babak pertama kami kuasai dengan beragan chant, sampai akhirnya pada awal babak kedua kami terdiam, tak ada gairah untuk mengeluarkan suara. 35 menit yang menyebalkan. Setelah itu, setelah gol pembangkit semangat yang diciptakan Vlado, kami mulai menguasai stadion kembali. Chant "Singanya jadi kucing" menjadi sebuah ledekkan yang paling pas, disusul chant "yang kalah pulang" setelah gol kedua. Langit Palembang yang biasanya berasap akibat kebakaran hutan menjadi sangat indah pada malam itu.
Setelah pertandingan, kami ditahan untuk tidak keluar stadion terlebih dahulu. Kami merayakan kemenangan dengan para pemain yang menghampiri kami di tribun selatan. Momen yang sangat luar biasa, sampai kami lupa bahwa di final akan menghadapi Persipura. Sebelum keluar stadion, saya berbincang dengan seorang polisi yang berjaga di pintu keluar, lalu ia berkata bahwa final akan tetap digelar di Palembang. Itu berarti kami harus menunggu tiga malam di Palembang sebelum hari pertandingan. Tak terbesit sedikitpun untuk pulang, saya bersama kawan-kawan memilih menyewa penginapan. Pilihan bertahan di Palembang adalah pilihan terbaik, selain tidak perlu lelah bulak-balik Palembang-Bandung-Palembang untuk kembali menyaksikan partai final yang tidak mungkin saya lewatkan, saya jadi bisa mengetahui kerasnya kehidupan di Palembang, juga meriahnya malam hari di sekitaran jembatan Ampera dan mencoba pempek asli Palembang.
Tiga malam berlalu dengan lambat, apalagi malam hari sebelum partai final dihelat, tak bisa tidur. Final diberlangsungkan pada hari Jumat, sebelum berangkat ke stadion, saya melaksakan shalat Jumat terlebih dahulu, yang membuat spesial adalah ternyata banyak orang Bandung yang memakai atribut PERSIB di masjid dekat penginapan. Padahal jarak dari penginapan saya ke stadion bukan merupakan jarak yang dekat. Oleh karena alasan itu, saya dapat mengkonfirmasi pernyataan yang mengatakan bahwa penginapan-penginapan di sekitaran stadion memang benar-benar penuh. Kalaupun ada yang kosong, harganya pasti melambung tinggi.
Saya berangkat ke stadion dengan menyewa angkutan umum yang tempat duduknya tidak seperti angkot-angkot di Bandung. Jika tempat duduk angkot di Bandung saling berhadapan antara penumpang, di Palembang tempat duduknya tak dimodifikasi layaknya di Bandung, tetap menghadap ke depan.
Di final kami langsung masuk stadion tanpa berkumpul di satu tempat lalu berjalan bersama-sama sampai masuk stadion layaknya semifinal. Mungkin karena Bobotoh yang datang ke stadion lebih banyak dari pada Semifinal. Saya mendapatakan tiket tribun timur. Seingat saya, hanya tribun utara saja yang tidak penuh serta sebagian samping utara diisi oleh pendukung Persipura dan mungkin warga sekitar yang ingin mendapatkan hiburan di tribun VIP, sisanya adalah makhluk-mahkluk yang ingin melihat Piala yang berada di pinggir lapangan itu pulang ke tempat yang seharusnya yaitu Bandung!
Sebelum pertandingan dimulai, kami mengumandangkan Al-Fatihah yang dilanjutkan dengan pekikkan "Juara! Juara! Juara!" Allah mendengar, pada akhir pertandingan, kami yang menangis bahagia.
Jakarta
19 tahun dengan performa naik turun itu disuguhi oleh cerita-cerita akan kehebatan Persib medio 80-90. Terselip cerita tentang bagaimana macetnya jalan raya menuju GBK. Serta riuhnya warga Bandung yang tak bisa berangkat ke Jakarta lalu berdiri dipinggir jalan mengantar supporter yang berangkat mendukung PERSIB. "Rasanya seperti suasana revolusi dulu" adalah ungkapan seorang kakek-kakek sambil menggelengkan kepala sembari duduk dipinggir jalan melihat kesamaan suasana ketika revolusi dengan semangat Bobotoh saat berangkat ke GBK yang dikutip dari koran Kompas oleh Aqwam Fiazmi Hanifan dan Novan Herfiyana dalam bukunya yang berjudul Persib Undercover.
Saya memang tidak mengalami kemacetan ketika menyambangi GBK pada partai Final Piala Presiden tahun 2015 karena sudah tersedianya jalan bebas hambatan a.k.a Tol. Namun, cerita kakek-kakek itu saya alami betul. Di perjalanan, banyak anak kecil, dewasa sampai lansia yang berdiri di pinggir jalan hanya untuk sekedar melambaikan tangan atau bernyanyi Halo-halo Bandung sambil mengibarkan bendera. Pada waktu itu, ada air yang ingin keluar dari sekitaran mata, air yang ingin mengatakan bahwa saya adalah pelaku sejarah bukan sekedar pendengar atau pembaca sejarah lagi.
Kami menguasai Gelora Bung Karno, jika saja armada untuk mengantarkan kami ke Jakarta tidak terkendala, kalimat heroik "sesuai kapasitas GBK" yang diucapkan oleh Herru Djoko ketika ditanya berapa banyak Bobotoh yang akan datang ke partai final benar-benar akan terealisasi.
Pertandingan begitu mudah. Setelah 20 tahun lamanya, PERSIB kembali mengangkat Piala di Ibukota Indonesia beserta puluhan ribu Bobotoh.
Medan
PSMS adalah musuh bebuyutan PERSIB, begitulah banyak orang menyebutnya. Setelah sekian lama menghilang dari divisi teratas liga Indonesia, pada musim 2018, PSMS kembali menghangatkan kompetisi teratas se-Indonesia itu. Pertemuan pertama terjadi di Bandung, Piala Presiden, dan PERSIB kalah dua gol tanpa balas.
Pertandingan selanjutnya, dihelat di Medan pada bulan puasa. Dalam lanjutan putaran pertama Liga 1 2018, pada partai sebelumnya, PERSIB kalah dikandang oleh Bhayangkara FC. Tanpa optimisme tinggi, saya menyambangi Medan, atas dasar sejarah yang sudah tumbuh sekian lama serta klasiknya stadion Teladan Medan, saya memutuskan untuk berangkat dengan membeli tiket pesawat pada hari-H keberangkatan. Berangkat sendirian dengan rasa khawatir akan ketinggalan pesawat oleh sebab pembangunan LRT yang mengakibatkan kemacetan di jalan bebas hambatan Bandung-Jakarta padahal waktu menunjukkan dini hari. Tiba 15 menit sebelum pesawat lepas landas, tanpa sahur saya harus sedikit lari untuk masuk pesawat lalu meninggalkan pulau Jawa.
Keputusan mendadak untuk pergi ke Medan sangat tidak mengecewakan. Mendapatkan kemenangan dengan 3 gol tanpa balas. Dendam Piala Presiden terbalaskan, malah dileuwihan sagol! Selain kemenangan besar di kandang lawan, ada cerita-cerita yang menarik untuk diceritakan.
Kultur sepakbola Medan memang sudah mengakar sangat lama. Jika di Bandung tepuk tangan akan diberikan ketika pemain membuat peluang, melakukan pergerakan yang memukau atau menggagalkan serangan. Di Medan ada satu hal yang unik yaitu apresiasi akan diberikan jika ketika pemain lawan menguasa bola lalu pemain PSMS berinisiatif mengambil bola dengan 'sekali ambil', tanpa delay, Rap-rap!
Juga tepat di hadapan saya, seorang bapak membawa anaknya ke stadion, anak yang sangat ekspresif, seringkali bertepuk tangan serta melompat-lompat, sayang sekali saya tidak berkesempatan untuk memotret akibat pertandingan yang seru, terbesit untuk akan meminta foto sehabis pertandingan, namun, rencana hanya sekedar rencana, sebelum pertandingan selesai, bapak dan anak itu sudah meninggalkan stadion terlebih dahulu beserta ribuan pendukung PSMS lainnya, bentuk kekecewaan yang tak dibuat-buat. Di lain tempat, sungguh menyesakkan melihat bagaimana orang-orang yang menasbihkan dirinya sebagai fans bola lalu mengekspresikan dirinya dengan turun ke lapang, menghampiri pemain lalu menangis, kemudian fotonya menyebar, dan oleh yang bersangkutan diposting di media sosialnya dengan bangga, HIH!
Setelah pertandingan, (mungkin) ratusan orang melakukan aksi di depan tribun VIP, tepat di depan para pemain menaikki bus. Mereka menuntut adanya revolusi di jajaran manajemen bukan menuntut pergantian pelatih. Sebuah penegasan sikap yang amat baik, saya kira.
Selain kejadian unik di lapangan sepakbola. Saya mendapat pengalaman baru tentang cara orang Medan mengemudikan kendaraannya. Saya kira Jakarta atau bahkan Bandung adalah tempat terbising akan suara klakson. Perkiraan saya salah, Medan lebih dari itu, belum lagi cara belok yang terkadang membuat kaki saya sebagai bukan pengemudi tiba-tiba seperti menginjak rem.
Hal-hal seperti itulah yang membuat menyambangi tempat lain sembari Lalajo Maung sangat mengasyikkan. Ditambah bisa menikmati makanan khas di daerah tersebut seperti Kaldu di Madura, Tahu Tek di Balikpapan, Sate Klatak di Bantul atau Gudeg dan makanan lainnya.
Orang lain bisa menyanggah bahwa tanpa PERSIB pun masih bisa menyambangi banyak tempat begitupula pengalaman yang bisa datang dari mana saja. Namun, seperti apa yang telah diceritakan di atas, saya bukan termasuk orang yang senang melakukan hal baru. Dan PERSIB bukanlah hal baru buat saya. Semoga PERSIB terus jaya dalam hal prestasi di lapangan agar gairah ngabobotohan ini terus hidup dan banyak lagi tempat-tempat baru yang bisa saya kunjungi dengan keunikan karateristiknya. Makassar, Papua, Malaysia, Singapura, Thailand dan lainnya. Semoga!
Terimakasih Tuhan atas segala nikmat ini.
Jayalah selalu, PERSIB!