Template, itulah kata yang pertama kali hadir dalam benak sehari setelah hari pertandingan. Jatuhnya korban yang diikuti oleh banyaknya pendapat di beragam media. Dalam pikiran saya, hal yang terjadi setelahnya adalah menguap. Terus begitu. Rangga, Ricko dan lainnya.
Dan yang lebih membuat geram adalah PSSI masih belum mengeluarkan statement hingga saat ini. Hal yang membuat kabar yang beredar semakin gerah. Saling mengeluarkan pendapat yang bukan malah memperbaiki keadaan. Seperti saya dalam tulisan ini, mungkin.
Yang dibutuhkan kali ini adalah solusi yang signifikan bukan pendapat-pendapat yang sama seperti setelah kejadian Rangga, Ricko atau yang lainnya. Bukan argumen-argumen kosong apalagi yang diucapkan oleh yang akan menjadi calon legislatif. Termasuk anjuran untuk berdamai. Sudah berapa kali deklarasi damai diberlangsungkan? Seperti yang baru saja APPI inginkan. Apakah itu sebuah solusi terbaik? Yang ditakuti, seperti yang sudah sering banyak ditemui di media sosial, adalah kekhawatiran atau kewaspadaan berkurang tapi ancaman masih tetap besar. Suruhan damai itu terasa kosong, seperti tak mengetahui keadaan di akar rumput.
Apalagi yang beropininya tak tahu konteks lapangan. Bagaimana rasanya melihat para jakmania yang mengunggah dirinya sedang berada di Bandung yang captionnya saya baca sangat menantang. Belum lagi jejak digital almarhum Haringga.
Tetap tak mengerti jika yang dijadikan alasan adalah pembunuhan, kenapa pada laga lain yang ada korban meninggal juga tak separah ini hegemoninya? Apakah karena yang membunuh Bobotoh dan yang terbunuh the jak, sedangkan nyawa lainnya tak penting? Padahal waktu kejadian belum lewat berbulan-bulan. Yang terjadi di Bantul tepat sehari sebelum PERSIB dijamu PS. TIRA.
Jika seluruh Bobotoh itu biadab, Ricko pasti takkan jadi korban karena beliau menjadi korban akibat ingin melindungi jakmania. Itulah keluh kesah banyak Bobotoh. Pernyataan itu terbentuk akibat dari banyaknya yang menyudutkan Bobotoh. Maka, jika kondisi ini diteruskan, saya khawatir takkan ada perbaikkan. Apalagi jika benar kompetisi dihentikan, yang ada saling menyudutkan takkan pernah selesai.
Seperti dalam tulisan sebelumnya, saya ulangi lagi. Dari tahun 2016 ketika Persib melawan persija di Solo, saya sudah tidak menyukai pelarangan suporter tamu untuk tidak datang. Memang sangat baik ketika kebijakan itu pertama kali digunakan, namun waktu terus berlalu, saya kira harus ada kebijakan baru. Kini, oleh sebab pelarangan itu, timbul akibat baru yaitu menjadi penyusup, datang ke stadion lawan dengan tidak menggunakan atribut timnya. Dan hal itu menjadi semacam pencapaian bila berhasil tembus. Coba telusuri satu sampai dua hari sebelum tanggal 23 September, banyak sekali akun-akun the jak yang memposting dirinya sedang berada di Bandung dan akan menyambangi GBLA, termasuk memposting foto tiket pertandingan dengan caption yang saya baca sangat menantang Bobotoh. Dan Bobotoh pun begitu bila Persib menyambangi kandang persija.
Jika yang jadi masalah adalah tentang korban yang menyusup, maka solusinya bukan memberhentikan liga tapi memperbaharui kebijakan pelarangan suporter rival datang ke kandang lawan kalau perlu ganti kebijakannya.
Yang terjadi belakangan ini adalah diskusi-diskusi yang malah akan memperparah keadaan. Mereka berpikir bahwa suporter Indonesia sangat urakan. Tak pernah mencoba melihat ke negara yang sepakbolanya sudah maju. Sangat bosan membahas tentang kebijakan di Inggris, misalnya, yang setiap rival bisa saling mengunjungi. Dan juga pernah terbukti berhasil dilakukan di sini ketika persija menjamu Persib di Malang dan Sleman, juga Final Piala Presiden dan Bhayangkara Cup yang walaupun lawan Persib bukan persija tapi kedua final itu dihelat di Jakarta, yang sudah pasti secara kuantitas jakmania lebih banyak dari pada ketika di Malang dan Sleman.
Sebagai manusia penuh dosa, suudzon atau berprasangka buruk selalu menghampiri. Jika saja Persib tak berada di puncak klasemen, hal ini mungkin takkan separah ini, karena yang mengutarakan keinginan Persib untuk disanksi adalah sebagian dari tim-tim yang ada di peringkat 2-5, jika nyawa adalah yang mereka perjuangkan, kenapa tidak seberisik ini ketika jatuhnya korban di Bantul, Jakarta, Malang yang belum genap setahun? Atau mungkin kejadian ini berdekatan dengan akan diadakannya pemilihan umum. Aji mumpung, mendompleng demi nama yang semakin familiar.
Maafkan kami Haringga, Ricko, Rangga dan lainnya, kematianmu disalahgunakan demi uang, pamor, citra atau elektabilitas, karena seperti sebelumnya, takkan ada hasil yang signifikan jika yang mengutarakannya punya maksud lain, selain ingin persepakbolaan Indonesia lebih baik. Dan orang-orang seperti itu lebih biadab dari pelaku pembunuhanmu. Semoga tenang di alam sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar