Sebuah kisah dari negara yang para prianya sangat memperhatikan penampilan, sehingga dari negara itupun kita jadi mengenal Vespa, Prada atau Renzo Piano. Namun, di negara tersebut gaya permainan sepakbolanya berbanding terbalik dengan penampilan sehari-harinya, setidaknya bagi yang menganut paham bahwa bermain bertahan adalah permainan yang nilai estetisnya lebih rendah dari cara bermain menguasai pertandingan ataupun menyerang.
Negara tersebut adalah Italia. Seperti apa yang dipaparkan Franklin Foer dalam bukunya "How Football Explain the World" bahwa dengan pengabdian yang begitu tinggi atas kenikmatan estetis, sungguh mengherankan bahwa sifat ini justru absen dari gaya nasional persepakbolaan mereka.
Menurutnya, gaya bermain bertahan atau yang sering disebut sebagai catenaccio di Italia itu bermula pada tahun 1960. Dalam strategi tersebut para pemain difokuskan dalam bertahan serta gol dicetak melalui serangan balik sehingga gol yang tercipta dalam satu pertandingan pun jarang sekali lebih dari satu atau dua. Oleh karena selisih gol dalam penentu siapa yang menang menjadi sangat minim, sehingga para pemain pun jadi harus berbuat segala cara termasuk jatuh di dalam kotak penalti dengan penuh harap agar wasit menunjuk titik putih.
Bahkan komite yang tugasnya menyortir nama-nama wasit ternyata dibeking oleh klub-klub paling berkuasa di Italia. Sehingga, pada 1999, salah satu surat kabar di Italia melaporkan salah satu klub membagi-bagi arloji Rolex seharga 13.500 dolar kepada beberapa wasit. Menurut surat kabar tersebut, kejadian itu dijuluki "Malam Jam Tangan" dan tak ada satu pun dari wasit yang menerima lalu mengembalikan jamnya tersebut..
Oleh karena seringnya kejadian tersebut, maka para stakeholder sepakbola Italia melakukan inovasi seperti koran-koran yang membuat catatan statistik serta mengeluarkan peringkat dengan tanda bintang untuk menilai kinerja wasit. Bahkan ada salah satu stasiun televisi membuat program berjudul "Il Processo" (pengadilan), yaitu program televisi yang mengumpulkan dewan juri untuk menilai keputusan-keputusan wasit. Program Il Processo tersebut berkali-kali mengulang rekaman pertandingan yang diperlambat agar bisa melihat apakah pemain benar-benar dilanggar atau pura-pura terjatuh, atau juga melihat tayangan ulang dari berbagai sudut untuk membuktikan kebenaran keputusan offside.
Nampaknya, inovasi tersebut dapat ditiru agar post-match para allenatore tak terbagi menjadi dua bagian yang saling bertentangan. Bagian pertama (tim kalah) yang menyatakan bahwa "kepemimpinan wasit sangat tidak menguntungkan bagi kami" atau "jika saja tidak ada penalti, kita sudah pasti menang" atau juga "Gol offside itu meruntuhkan mental kami". Lalu post-match bagian lainnya (tim menang) berungkapan bahwa "Tanpa penalti itupun kita akan tetap menang karena kita sudah unggul sebelum penalti tersebut".
Sangat membosankan membaca post-match seperti itu. Sampai Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomicsnya pun menegaskan bahwa "Sang manajer mengetahui bahwa kebanyakan surat kabar lebih suka membahas perselisihan antar pribadi ketimbang taktik. Itulah sebabnya, laporan pertandingan akan lebih diarahkan pada konferensi pers alih-alih pada buruknya kinerja dari tim yang kalah”
Apalagi bagi Bobotoh yang akhir-akhir ini sering menyesalkan keputusan kontroversi sang pengadil lapangan. Wajar kiranya apabila beberapa kawan Bobotoh mengkhawatirkan hal terkait menjelang pertandingan melawan klub semenjana, Persija (yang pada saat beberapa waktu lalu diungkap media daring Tirto.ID, serta ditemukan bukti adanya keterlibatan dengan lord Djoko Driyono). Bahkan hari ini beredar isu laga tersebut akan ditunda! Kabarnya, pihak keamanan khawatir karena laga tersebut berdekatan dengan perayaan hari buruh internasional atau yang biasa disebut MayDay. Namun setelah ditelisik lebih dalam, bisa jadi hal itu hanyalah akal-akalan mereka yang kelelahan setelah piknik di Geylang sembari berswafoto di patung singa.
Apalagi narasi yang dibangun oleh Coach Gomez akhir-akhir ini sangat optimistik menghadapi pertandingan tanggal 28 nanti. Pun jika melihat daftar pencetak gol Liga 1 2018. Juga dengan pemberitaan di media daring akhir-akhir ini yang seperti memperlihatkan ketakutan tim lawan akan absennya dua pilar mereka. Sehubungan dengan hal di atas, semoga dengan meniru inovasi surat kabar atau program televisi di Italia, dapat menurunkan tingkat kesuudzonan terhadap sang pengadil lapangan yang menguntungkan tuan rumah.
Karena bukan suatu hal yang mustahil, kegoblogan pengadil lapangan di Manahan Solo musim lalu terulang kembali. Bahkan kejadian serupa menghinggapi perasaan Bobotoh, dua minggu silam, pada lanjutan pertandingan liga 1 melawan Arema di Kanjuruhan. Saat itu juru gedor baru kita, Joni Bauman dijatuhkan dikotak penalti, pun meng-sah-kan gol kedua arema yang jelas, berbau offside jika dilihat di tayangan ulang yang posisi kameranya tak cukup baik untuk digunakan dalam menilai offside atau tidak. Hal itu menandakan para pengadil di lapangan hijau di Indonesia belum bergerak kearah perbaikan.
Mengutip yang dikatakan Leo Tolstoy, bahwa hidup ini adalah perubahan terus menerus, menuju sesuatu yang tidak kita ketahui. Akal manusia terkadang tidak tahan dengan perjuangan yang tiada akhir itu. Ia sering menyerah, lalu mencari penyelesaian mudah. Seperti yang dilakukan klub semenjana, Persija, saat menjegal beberapa kontestan Liga 1 musim lalu.
Memang, mereka memiliki keterkaitan dengan orang nomor dua di otoritas sepakbola Indonesia. Saya kira, wajar saja Bobotoh khawatir akan hal itu. Namun, setelah merepotkan Arema, pun menenggelamkan Borneo FC minggu kemarin, publik tahu siapa sesungguhnya chief kesebelasan kebanggaan Bobotoh sekarang, ya siapa kalau bukan Roberto Carlos Mario Gomez.
Andai akhir pekan kemarin pertandingan tidak jadi ditunda lantaran beberapa pemain andalan mereka harus absen, maka, Persib kami akan menggebuk Persija di Senayan. Percayalah Roh-Roh Senayan bersama Persib karena sesungguhnya Senayan adalah Kandang kedua bagi Persib. Pun bobotoh yang masih memegang Rekor penonton terbanyak di stadion kebanggaan rakyat Indonesia tersebut, karena data jumlah penonton terbanyak 125.000 Final Perserikatan 1986 dan Final Perserikatan 1994 tercatat sebagai rekor yg mustahil di lewati supporter manapun.
Kemudian setelah keluarnya kabar diundur menjadi tanggal 30 Juni, CEO tim sana kembali mengeluarkan statement yang menginginkan Persib menjadi tuan rumah terlebih dahulu, kenapa bukan sebelum tanggal 28 April keinginan tersebut disuarakan? Alangkah baiknya apabila manajemen Persib tidak menerima begitu saja wacana tersebut, bukankah selama ini mereka sering berkoar-koar perihal nyali? Jadi siapa yang sebetulnya takut? Silahkan tafsirkan sendiri. Dan apalagi yang mau diperdebatkan setelah laga tersebut ditunda? sudah jelas, Persija takut kalah!
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ditulis bersama kawan bernama Yogi Esa. Dimuat juga di Halik Ku Aing Zine (dulu Akar Rumput Zine)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar