Minggu, 27 Mei 2018

Andrea Pirlo: I Think Therefore I Play

Sejak kecil saya lebih menyukai liga Italia dari pada Inggris. Begitu pula dengan tim favorite yaitu AC Milan. Mungkin untuk sekedar ada kesebelasan yang bisa diandalkan di kala bertarung di game Winning Eleven PS1 bersama kawan-kawan. Karena jika hanya menasbihkan diri sebagai Bobotoh, maka takkan ada hal yang beda, karena kawan saya pun pastilah sebagai penggemar Persib juga, berikut dulu Persib belum tersedia di salah satu kesebelasan yang bisa dimainkan di game Winning Eleven.

Ingatan di masa kecil menyebutkan bahwa AC Milan adalah raksasa Eropa, dengan Dida di bawah mistar gawang, lalu ada Maldini, Nesta, Cafu, Jaap Stam di barisan belakang. Pun dengan lini tengahnya yang begitu megah, ada Kaka yang bermain sangat baik menggantikan peran Rui Costa, juga Seedorf serta Rino Gattuso. Lalu, Shevchenko dan Pipo Inzaghi sebagai mesin gol. Ada nama yang tak mungkin untuk tidak disebut diantara nama-nama megah tersebut, ialah Andrea Pirlo, nama yang sering mengisi kesebelasan Master League di Winning Eleven PS1 yang saya mainkan.
Kebetulan, di hari tulisan ini diposting, saya baru selesai membaca buku Andrea Pirlo: I Think Therefore I Play. Tidak hanya hal-hal baru yang saya dapatkan ketika membaca buku tersebut, juga ada kenangan masa kecil yang teringat.

Buku tersebut terdiri dari 20 bab. Baginya, angka 21 sangat sakral. Angka tersebut adalah tanggal kelahiran Ayahnya, tanggal pertama kali ia debut di Serie A, juga tanggal ia melangsungkan pernikahannya. Sehingga, ia hanya menulis hingga bab 20 dengan harapan bab 21 akan kembali ditulis dengan cerita indah lainnya.

Di buku tersebut diawali oleh pengantar yang ditulis Cesare Prandelli, pelatih Timnas Italia di kala itu. Menurut Prandelli, ia telah melihat bakat besar yang dimiliki Pirlo sejak Pirlo bermain di tim junior Brescia. Ia menuliskan bahwa pada saat itu ia mendapat kabar dari salah satu asistennya bahwa ada pemain yang begitu bagus. Sayangnya pemain itu bermain di Brescia, kesebelasan yang akan bertandingan melawan kesebelasan Prandelli. Prandelli memang benar-benar kagum ketika pertama kali melihat permainan Pirlo yang padahal bermain tidak dengan pemain seusianya. "Bakat Baru" begitulah ia menuliskannya.

Buku itu ditulis ketika Pirlo berseragam Juventus. Di bagian awal, ia menuliskan cerita tentang perpindahan dari Milan ke Juve. Tersirat ia sebetulnya ingin bertahan di AC Milan, ketika bernegoisasi untuk memperpanjang kontrak di Milan, Pirlo tak pernah sedikitpun membahas perihal materi, yang ia inginkan hanyalah kontrak yang tak sekedar satu musim, seperti yang AC Milan tawarkan. AC Milan kukuh dalam penawarannya, sehingga Pirlo memutuskan untuk menerima pinangan Juventus dengan kontrak tiga tahun. Pirlo bisa saja kembali ke Inter, andai Inter Milan bisa bergerak cepat dan serius dalam bernegosiasi.

Ia juga bercerita bahwa ia hampir akan bermain di Madrid dan Barcelona. Kesebelasan yang diimpikan ketika muda. Bermain di dua kesebelasan hebat tersebut bukan hanya impiannya, teman-teman kecilnya pun berharap demikian. Spanyol adalah harapan bagi sebagian pesepakbola muda Italia. Dan Pirlo hampir saja merealisasikan harapan di kala kecilnya. Madrid ketika ditangani Fabio Capello sangat menginginkan jasa Pirlo. Jika Galliani tidak memberikan draft kontrak yang pada kolom gajinya sengaja dikosongkan untuk diisi sendiri oleh Pirlo serta penawaran kontrak lima tahun, mungkin Pirlo ketika itu sudah menjadi bagian dari Madrid. Begitu pula dengan Barca-nya Pep Guardiola yang harus mencari pemain lain untuk mengisi transfer Pirlo yang gagal oleh sebab Milan yang teguh untuk tetap mempertahankan gelandangnya tersebut.

Pirlo juga bercerita tentang masa sulitnya ketika belajar sepakbola di Brescia, ia dikucilkan, jarang dioper bola padahal posisinya sudah ideal, bahkan sering dikasari, bukan karena Pirlo bertingkah buruk, namun, karena Pirlo terlalu hebat padahal ia bergabung dan melawan pemain diatas usianya. Pemain-pemain yang usianya diatas Pirlo cemburu dengan apa yang bisa dilakukan oleh Pirlo. Di masa sulitnya itu, Pirlo marah dan hanya punya pilihan: berhenti atau terus bermain. Ia pilih yang kedua. Terus bermain, mengejar bola lalu ia cetak gol sendirian, melakukan hal yang tak bisa dilakukan oleh rekannya.

Yang paling menarik, menurut saya, adalah ketika menceritakan hal-hal takhayul. Cerita tentang rekannya, bukan Pirlo yang mempercayai hal itu. Ada kisah mengenai sepatu tua nan butut milik Gilardino yang harus Gilardino bawa setiap pertandingan, jika lupa tak dibawa, Gila lebih memilih meminta ke pelatih untuk duduk di bangku cadangan, alias menolak untuk bermain. Juga kisah Pipo Inzaghi yang harus selalu buang hajat di ruang ganti pemain, bukan hanya sekali tapi bisa sampai empat kali, sampai rekan-rekannya berkata "memangnya kau makan apa, sih, bangkai?". Juga Pipo yang menyukai makanan bayi dan selalu tidak memakan dua potong biskuit terakhirnya. Atau cerita Sebastiano Rossi yang melarang siapapun untuk berjalan di belakangnya ketika melakukan pemanasan sebelum bertanding.

Juga ada kisah mengenai betapa kecewanya Pirlo ketika kalah oleh Liverpool di Final Champions League. Saking kecewanya, ia sampai terpikirkan untuk berhenti bermain sepakbola. "Sometimes you win, sometimes you learn" untaian kata bijak tersebut tidak berlaku bagi Pirlo, karena hanya kata "berengsek", kata yang muncul ketika Pirlo mencoba mengambil hikmah dari kekalahan itu, walau dua musim selanjutnya Milan beserta Pirlo bisa membalaskan dendam dengan menjuarai Champions League dengan lawan yang sama di partai final.

Ada kritikan juga di bukunya Pirlo. Ia mengutuk aksi para supporter di Italia yang sering bertingkah diluar batas. Jika berlaga di kandang lawan, dari hotel ke stadion, Pirlo sangat tidak nyaman karena selalu dikawal oleh polisi dengan sirine dan lampunya. Jika ada yang ingat aksi jakmania pada tahun 2013 yang melakukan aksi pelemparan ke bus Persib. Pirlo juga pernah merasakan hal yang sama. Namun, tak seperti apa yang dialami Persib, kaca bus yang Pirlo tunggangi cukup kuat untuk menahan lemparan bongkahan batu.

Pirlo juga mengutuk aksi rasis yang sering digunakan oleh para supporter untuk menjatuhkan mental lawannya. Pirlo sangat senang dengan aksi Balotelli ketika melawan rasisme. Balotelli akan menunjuk bibir/kulit ketika mencetak gol atau juga tertawa ketika ada yang berteriak rasis kepadanya. Tindakan itu, menurut Pirlo, akan membuat tindakan orang yang berteriak rasis menjadi sia-sia.

Juga banyak kisah lainnya, seperti Pirlo yang belajar free kick dari mengamati cara Juninho menendang. Juga cerita tentangnya yang tak menyukai pemanasan. Dan lainnya. 

Sebagai pengagum AC Milan dan Pirlo di kala kanak-kanak, buku ini menarik untuk dibaca, sehingga jadi mengetahui kenapa ia menyeberang ke Juve. Tak seperti kisah Eka Ramdani, walaupun sudah kembali ke Persib tapi kisah perpindahannya ke Persisam bagi saya yang awam masih tak jelas sampai sekarang.

Sekian. Tabik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar