Senin, 28 Mei 2018

Awas, Bahaya Laten Wasit Goblog! Serta Menyoal Nyali Yang Banyak Alibi

Sebuah kisah dari negara yang para prianya sangat memperhatikan penampilan, sehingga dari negara itupun kita jadi mengenal Vespa, Prada atau Renzo Piano. Namun, di negara tersebut gaya permainan sepakbolanya berbanding terbalik dengan penampilan sehari-harinya, setidaknya bagi yang menganut paham bahwa bermain bertahan adalah permainan yang nilai estetisnya lebih rendah dari cara bermain menguasai pertandingan ataupun menyerang. 
Negara tersebut adalah Italia. Seperti apa yang dipaparkan Franklin Foer dalam bukunya "How Football Explain the World" bahwa dengan pengabdian yang begitu tinggi atas kenikmatan estetis, sungguh mengherankan bahwa sifat ini justru absen dari gaya nasional persepakbolaan mereka.

Menurutnya, gaya bermain bertahan atau yang sering disebut sebagai catenaccio di Italia itu bermula pada tahun 1960. Dalam strategi tersebut para pemain difokuskan dalam bertahan serta gol dicetak melalui serangan balik sehingga gol yang tercipta dalam satu pertandingan pun jarang sekali lebih dari satu atau dua. Oleh karena selisih gol dalam penentu siapa yang menang menjadi sangat minim, sehingga para pemain pun jadi harus berbuat segala cara termasuk jatuh di dalam kotak penalti dengan penuh harap agar wasit menunjuk titik putih.

Bahkan komite yang tugasnya menyortir nama-nama wasit ternyata dibeking oleh klub-klub paling berkuasa di Italia. Sehingga, pada 1999, salah satu surat kabar di Italia melaporkan salah satu klub membagi-bagi arloji Rolex seharga 13.500 dolar kepada beberapa wasit. Menurut surat kabar tersebut, kejadian itu dijuluki "Malam Jam Tangan" dan tak ada satu pun dari wasit yang menerima lalu mengembalikan jamnya tersebut..

Oleh karena seringnya kejadian tersebut, maka para stakeholder sepakbola Italia melakukan inovasi seperti koran-koran yang membuat catatan statistik serta mengeluarkan peringkat dengan tanda bintang untuk menilai kinerja wasit. Bahkan ada salah satu stasiun televisi membuat program berjudul "Il Processo" (pengadilan), yaitu program televisi yang mengumpulkan dewan juri untuk menilai keputusan-keputusan wasit. Program Il Processo tersebut berkali-kali mengulang rekaman pertandingan yang diperlambat agar bisa melihat apakah pemain benar-benar dilanggar atau pura-pura terjatuh, atau juga melihat tayangan ulang dari berbagai sudut untuk membuktikan kebenaran keputusan offside.

Nampaknya, inovasi tersebut dapat ditiru agar post-match para allenatore tak terbagi menjadi dua bagian yang saling bertentangan. Bagian pertama (tim kalah) yang menyatakan bahwa "kepemimpinan wasit sangat tidak menguntungkan bagi kami" atau "jika saja tidak ada penalti, kita sudah pasti menang" atau juga "Gol offside itu meruntuhkan mental kami". Lalu post-match bagian lainnya (tim menang) berungkapan bahwa "Tanpa penalti itupun kita akan tetap menang karena kita sudah unggul sebelum penalti tersebut".

Sangat membosankan membaca post-match seperti itu. Sampai Simon Kuper dan Stefan Szymanski dalam Soccernomicsnya pun menegaskan bahwa "Sang manajer mengetahui bahwa kebanyakan surat kabar lebih suka membahas perselisihan antar pribadi ketimbang taktik. Itulah sebabnya, laporan pertandingan akan lebih diarahkan pada konferensi pers alih-alih pada buruknya kinerja dari tim yang kalah”

Apalagi bagi Bobotoh yang akhir-akhir ini sering menyesalkan keputusan kontroversi sang pengadil lapangan. Wajar kiranya apabila beberapa kawan Bobotoh mengkhawatirkan hal terkait menjelang pertandingan melawan klub semenjana, Persija (yang pada saat beberapa waktu lalu diungkap media daring Tirto.ID, serta ditemukan bukti adanya keterlibatan dengan lord Djoko Driyono). Bahkan hari ini beredar isu laga tersebut akan ditunda! Kabarnya, pihak keamanan khawatir karena laga tersebut berdekatan dengan perayaan hari buruh internasional atau yang biasa disebut MayDay. Namun setelah ditelisik lebih dalam, bisa jadi hal itu hanyalah akal-akalan mereka yang kelelahan setelah piknik di Geylang sembari berswafoto di patung singa.

Apalagi narasi yang dibangun oleh Coach Gomez akhir-akhir ini sangat optimistik menghadapi pertandingan tanggal 28 nanti. Pun jika melihat daftar pencetak gol Liga 1 2018. Juga dengan pemberitaan di media daring akhir-akhir ini yang seperti memperlihatkan ketakutan tim lawan akan absennya dua pilar mereka. Sehubungan dengan hal di atas, semoga dengan meniru inovasi surat kabar atau program televisi di Italia, dapat menurunkan tingkat kesuudzonan terhadap sang pengadil lapangan yang menguntungkan tuan rumah.

Karena bukan suatu hal yang mustahil, kegoblogan pengadil lapangan di Manahan Solo musim lalu terulang kembali. Bahkan kejadian serupa menghinggapi perasaan Bobotoh, dua minggu silam, pada lanjutan pertandingan liga 1 melawan Arema di Kanjuruhan. Saat itu juru gedor baru kita, Joni Bauman dijatuhkan dikotak penalti, pun meng-sah-kan gol kedua arema yang jelas, berbau offside jika dilihat di tayangan ulang yang posisi kameranya tak cukup baik untuk digunakan dalam menilai offside atau tidak. Hal itu menandakan para pengadil di lapangan hijau di Indonesia belum bergerak kearah perbaikan.

Mengutip yang dikatakan Leo Tolstoy, bahwa hidup ini adalah perubahan terus menerus, menuju sesuatu yang tidak kita ketahui. Akal manusia terkadang tidak tahan dengan perjuangan yang tiada akhir itu. Ia sering menyerah, lalu mencari penyelesaian mudah. Seperti yang dilakukan klub semenjana, Persija, saat menjegal beberapa kontestan Liga 1 musim lalu.

Memang, mereka memiliki keterkaitan dengan orang nomor dua di otoritas sepakbola Indonesia. Saya kira, wajar saja Bobotoh khawatir akan hal itu. Namun, setelah merepotkan Arema, pun menenggelamkan Borneo FC minggu kemarin, publik tahu siapa sesungguhnya chief kesebelasan kebanggaan Bobotoh sekarang, ya siapa kalau bukan Roberto Carlos Mario Gomez.

Andai akhir pekan kemarin pertandingan tidak jadi ditunda lantaran beberapa pemain andalan mereka harus absen, maka, Persib kami akan menggebuk Persija di Senayan. Percayalah Roh-Roh Senayan bersama Persib karena sesungguhnya Senayan adalah Kandang kedua bagi Persib. Pun bobotoh yang masih memegang Rekor penonton terbanyak di stadion kebanggaan rakyat Indonesia tersebut, karena data jumlah penonton terbanyak 125.000 Final Perserikatan 1986 dan Final Perserikatan 1994 tercatat sebagai rekor yg mustahil di lewati supporter manapun. 

Kemudian setelah keluarnya kabar diundur menjadi tanggal 30 Juni, CEO tim sana kembali mengeluarkan statement yang menginginkan Persib menjadi tuan rumah terlebih dahulu, kenapa bukan sebelum tanggal 28 April keinginan tersebut disuarakan? Alangkah baiknya apabila manajemen Persib tidak menerima begitu saja wacana tersebut, bukankah selama ini mereka sering berkoar-koar perihal nyali? Jadi siapa yang sebetulnya takut? Silahkan tafsirkan sendiri. Dan apalagi yang mau diperdebatkan setelah laga tersebut ditunda? sudah jelas, Persija takut kalah! 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Ditulis bersama kawan bernama Yogi Esa. Dimuat juga di Halik Ku Aing Zine (dulu Akar Rumput Zine)

Minggu, 27 Mei 2018

Andrea Pirlo: I Think Therefore I Play

Sejak kecil saya lebih menyukai liga Italia dari pada Inggris. Begitu pula dengan tim favorite yaitu AC Milan. Mungkin untuk sekedar ada kesebelasan yang bisa diandalkan di kala bertarung di game Winning Eleven PS1 bersama kawan-kawan. Karena jika hanya menasbihkan diri sebagai Bobotoh, maka takkan ada hal yang beda, karena kawan saya pun pastilah sebagai penggemar Persib juga, berikut dulu Persib belum tersedia di salah satu kesebelasan yang bisa dimainkan di game Winning Eleven.

Ingatan di masa kecil menyebutkan bahwa AC Milan adalah raksasa Eropa, dengan Dida di bawah mistar gawang, lalu ada Maldini, Nesta, Cafu, Jaap Stam di barisan belakang. Pun dengan lini tengahnya yang begitu megah, ada Kaka yang bermain sangat baik menggantikan peran Rui Costa, juga Seedorf serta Rino Gattuso. Lalu, Shevchenko dan Pipo Inzaghi sebagai mesin gol. Ada nama yang tak mungkin untuk tidak disebut diantara nama-nama megah tersebut, ialah Andrea Pirlo, nama yang sering mengisi kesebelasan Master League di Winning Eleven PS1 yang saya mainkan.
Kebetulan, di hari tulisan ini diposting, saya baru selesai membaca buku Andrea Pirlo: I Think Therefore I Play. Tidak hanya hal-hal baru yang saya dapatkan ketika membaca buku tersebut, juga ada kenangan masa kecil yang teringat.

Buku tersebut terdiri dari 20 bab. Baginya, angka 21 sangat sakral. Angka tersebut adalah tanggal kelahiran Ayahnya, tanggal pertama kali ia debut di Serie A, juga tanggal ia melangsungkan pernikahannya. Sehingga, ia hanya menulis hingga bab 20 dengan harapan bab 21 akan kembali ditulis dengan cerita indah lainnya.

Di buku tersebut diawali oleh pengantar yang ditulis Cesare Prandelli, pelatih Timnas Italia di kala itu. Menurut Prandelli, ia telah melihat bakat besar yang dimiliki Pirlo sejak Pirlo bermain di tim junior Brescia. Ia menuliskan bahwa pada saat itu ia mendapat kabar dari salah satu asistennya bahwa ada pemain yang begitu bagus. Sayangnya pemain itu bermain di Brescia, kesebelasan yang akan bertandingan melawan kesebelasan Prandelli. Prandelli memang benar-benar kagum ketika pertama kali melihat permainan Pirlo yang padahal bermain tidak dengan pemain seusianya. "Bakat Baru" begitulah ia menuliskannya.

Buku itu ditulis ketika Pirlo berseragam Juventus. Di bagian awal, ia menuliskan cerita tentang perpindahan dari Milan ke Juve. Tersirat ia sebetulnya ingin bertahan di AC Milan, ketika bernegoisasi untuk memperpanjang kontrak di Milan, Pirlo tak pernah sedikitpun membahas perihal materi, yang ia inginkan hanyalah kontrak yang tak sekedar satu musim, seperti yang AC Milan tawarkan. AC Milan kukuh dalam penawarannya, sehingga Pirlo memutuskan untuk menerima pinangan Juventus dengan kontrak tiga tahun. Pirlo bisa saja kembali ke Inter, andai Inter Milan bisa bergerak cepat dan serius dalam bernegosiasi.

Ia juga bercerita bahwa ia hampir akan bermain di Madrid dan Barcelona. Kesebelasan yang diimpikan ketika muda. Bermain di dua kesebelasan hebat tersebut bukan hanya impiannya, teman-teman kecilnya pun berharap demikian. Spanyol adalah harapan bagi sebagian pesepakbola muda Italia. Dan Pirlo hampir saja merealisasikan harapan di kala kecilnya. Madrid ketika ditangani Fabio Capello sangat menginginkan jasa Pirlo. Jika Galliani tidak memberikan draft kontrak yang pada kolom gajinya sengaja dikosongkan untuk diisi sendiri oleh Pirlo serta penawaran kontrak lima tahun, mungkin Pirlo ketika itu sudah menjadi bagian dari Madrid. Begitu pula dengan Barca-nya Pep Guardiola yang harus mencari pemain lain untuk mengisi transfer Pirlo yang gagal oleh sebab Milan yang teguh untuk tetap mempertahankan gelandangnya tersebut.

Pirlo juga bercerita tentang masa sulitnya ketika belajar sepakbola di Brescia, ia dikucilkan, jarang dioper bola padahal posisinya sudah ideal, bahkan sering dikasari, bukan karena Pirlo bertingkah buruk, namun, karena Pirlo terlalu hebat padahal ia bergabung dan melawan pemain diatas usianya. Pemain-pemain yang usianya diatas Pirlo cemburu dengan apa yang bisa dilakukan oleh Pirlo. Di masa sulitnya itu, Pirlo marah dan hanya punya pilihan: berhenti atau terus bermain. Ia pilih yang kedua. Terus bermain, mengejar bola lalu ia cetak gol sendirian, melakukan hal yang tak bisa dilakukan oleh rekannya.

Yang paling menarik, menurut saya, adalah ketika menceritakan hal-hal takhayul. Cerita tentang rekannya, bukan Pirlo yang mempercayai hal itu. Ada kisah mengenai sepatu tua nan butut milik Gilardino yang harus Gilardino bawa setiap pertandingan, jika lupa tak dibawa, Gila lebih memilih meminta ke pelatih untuk duduk di bangku cadangan, alias menolak untuk bermain. Juga kisah Pipo Inzaghi yang harus selalu buang hajat di ruang ganti pemain, bukan hanya sekali tapi bisa sampai empat kali, sampai rekan-rekannya berkata "memangnya kau makan apa, sih, bangkai?". Juga Pipo yang menyukai makanan bayi dan selalu tidak memakan dua potong biskuit terakhirnya. Atau cerita Sebastiano Rossi yang melarang siapapun untuk berjalan di belakangnya ketika melakukan pemanasan sebelum bertanding.

Juga ada kisah mengenai betapa kecewanya Pirlo ketika kalah oleh Liverpool di Final Champions League. Saking kecewanya, ia sampai terpikirkan untuk berhenti bermain sepakbola. "Sometimes you win, sometimes you learn" untaian kata bijak tersebut tidak berlaku bagi Pirlo, karena hanya kata "berengsek", kata yang muncul ketika Pirlo mencoba mengambil hikmah dari kekalahan itu, walau dua musim selanjutnya Milan beserta Pirlo bisa membalaskan dendam dengan menjuarai Champions League dengan lawan yang sama di partai final.

Ada kritikan juga di bukunya Pirlo. Ia mengutuk aksi para supporter di Italia yang sering bertingkah diluar batas. Jika berlaga di kandang lawan, dari hotel ke stadion, Pirlo sangat tidak nyaman karena selalu dikawal oleh polisi dengan sirine dan lampunya. Jika ada yang ingat aksi jakmania pada tahun 2013 yang melakukan aksi pelemparan ke bus Persib. Pirlo juga pernah merasakan hal yang sama. Namun, tak seperti apa yang dialami Persib, kaca bus yang Pirlo tunggangi cukup kuat untuk menahan lemparan bongkahan batu.

Pirlo juga mengutuk aksi rasis yang sering digunakan oleh para supporter untuk menjatuhkan mental lawannya. Pirlo sangat senang dengan aksi Balotelli ketika melawan rasisme. Balotelli akan menunjuk bibir/kulit ketika mencetak gol atau juga tertawa ketika ada yang berteriak rasis kepadanya. Tindakan itu, menurut Pirlo, akan membuat tindakan orang yang berteriak rasis menjadi sia-sia.

Juga banyak kisah lainnya, seperti Pirlo yang belajar free kick dari mengamati cara Juninho menendang. Juga cerita tentangnya yang tak menyukai pemanasan. Dan lainnya. 

Sebagai pengagum AC Milan dan Pirlo di kala kanak-kanak, buku ini menarik untuk dibaca, sehingga jadi mengetahui kenapa ia menyeberang ke Juve. Tak seperti kisah Eka Ramdani, walaupun sudah kembali ke Persib tapi kisah perpindahannya ke Persisam bagi saya yang awam masih tak jelas sampai sekarang.

Sekian. Tabik!