Kamis, 22 Maret 2018

Layaknya Roda, Berputar!

Sepakbola adalah sebuah alat perjuangan, persatuannya menjadi kunci. Ir. Soeratin paham betul. Dan, Bandung pun tahu akan itu, Anwar St. Pamoentjak yang menjadi pelopor klub kebanggaan asal Bandung menurut sejarah yang saya baca. Setelah sumpah pemuda digaungkan, penggunaan Bahasa Indonesia menjadi salah satu alat perjuangan. Tidak terkecuali pada sepakbola. Akronim "Persatuan Sepakbola" menjadi sangat banyak dipakai hingga kini, yang dulunya menggantikan singkatan "Voetball Bond".

14 Maret 1933, adalah tanggal keramat bagi sebuah klub asal Bandung. Walaupun tanggal tersebut masih bisa berubah jika kelak ditemukan referensi baru. 

Beragam gelar telah menjadikannya sebagai salah satu klub besar di Indonesia. Dengan suporternya yang telah tumbuh dengan rentang waktu yang sangat panjang, hingga kini telah menjadi seperti sebuah budaya.

Pasang surut prestasi adalah sebuah kewajaran jika kita medengar sebuah wise quote yaitu "hirup mah jiga roda, muter". Dari tahun 1937 ke tahun 1961 adalah bukan waktu yang sebentar. Begitu pula dari 1961 ke 1986. Dan tentunya dari tahun 1995 sampai 2014 yang saya alami sendiri.

Sangat beruntung saya bisa mengalami apa yang diceritakan oleh para pendahulu saya yang sering menceritakan tentang kehebatan di rentang 1983-1995. Hal tersebut sering beliau-beliau ceritakan apalagi ketika setelah pertandingan yang kurang memukau  di tahun 2000 sampai sebelum tahun 2014.

Ajat yang fenomenal, Adeng Hudaya kapten terlama, Robby Darwis tinggi besar, Yusuf Bahtiar sang maestro, Yudi Guntara dipuji Fabio Capello, Sutiono yang subur, garangnya Samai Setiadi, Dede Iskandar dan Nandang Kurnaedi si jago gawir sampai jalanan Bandung-Jakarta menjadi lautan biru oleh sebab ratusan ribu orang ingin menjadi saksi sejarah. Tak ada sanggahan. Hanya harapan untuk ingin merasakan hal yang sama.

Waktu terus berjalan, roda akhirnya kembali mencapai bagian atas. Sejarah terulang, 19 tahun yang kelam akhirnya bisa dipatahkan. Di mulai pada tahun 2013 dengan Sergio van Dijk yang memukau. Lalu, 2014 sebuah cerita indah yang ditunggu selama 19 tahun. Dan, 2015 sejarah penuhnya Gelora Bung Karno oleh lautan biru kembali terulang. Jika pada tahun 1986 menjadi pematah masa kelam sebagai pemain dengan gol tunggalnya di partai final. Di tahun 2014 Ia menjadi pematah masa kelam sebagai pelatih, ialah Djajang Nurjaman, nama yang akan abadi dalam catatan indah perjalanan klub kebanggaan asal Bandung.

Kemudian, sangat jemu untuk mengemukakan apa yang terjadi setelah tahun 2015. A short glorious era. Terlalu singkat setelah 19 tahun menunggu. Drama dan drama yang malah terjadi. Raja kompetisi yang diinginkan, bukan ratu drama. 

Jika roda mencapai bagian bawah terlalu cepat, semoga kayuhan untuk kembali berada di bagian atas semakin kencang. Jika menjadi bagian dari memperlambatnya kayuhan untuk mencapai puncak, kenapa harus tidak legowo untuk mempercayakannya kepada yang lebih cepat mengayuh. Bukankah yang terpenting adalah berada di atas bukan siapa yang menjadikannya kembali berada di atas? 

85 tahun kini usianya. Semoga kembali menjadi alat perjuangan, dan tentunya dalam konteks yang berbeda. Yaitu sebagai alat perjuangan untuk lepas sejenak dari rutinitas kehidupan yang menjemukan, bukan malah menambah kerungsingan.

Dengan nama Persib Bandung dan warna Biru yang tak lekang oleh waktu. Kami Bangga!

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Dengan sedikit revisi, esai ini dimuat juga di Web VikingPersibClub dan Akar Rumput Zine Vol. #4




Tidak ada komentar:

Posting Komentar