Selasa, 25 September 2018

Please Stop, Football Snobs!

Template, itulah kata yang pertama kali hadir dalam benak sehari setelah hari pertandingan. Jatuhnya korban yang diikuti oleh banyaknya pendapat di beragam media. Dalam pikiran saya, hal yang terjadi setelahnya adalah menguap. Terus begitu. Rangga, Ricko dan lainnya. 

Dan yang lebih membuat geram adalah PSSI masih belum mengeluarkan statement hingga saat ini. Hal yang membuat kabar yang beredar semakin gerah. Saling mengeluarkan pendapat yang bukan malah memperbaiki keadaan. Seperti saya dalam tulisan ini, mungkin.

Yang dibutuhkan kali ini adalah solusi yang signifikan bukan pendapat-pendapat yang sama seperti setelah kejadian Rangga, Ricko atau yang lainnya. Bukan argumen-argumen kosong apalagi yang diucapkan oleh yang akan menjadi calon legislatif. Termasuk anjuran untuk berdamai. Sudah berapa kali deklarasi damai diberlangsungkan? Seperti yang baru saja APPI inginkan. Apakah itu sebuah solusi terbaik? Yang ditakuti, seperti yang sudah sering banyak ditemui di media sosial, adalah kekhawatiran atau kewaspadaan berkurang tapi ancaman masih tetap besar. Suruhan damai itu terasa kosong, seperti tak mengetahui keadaan di akar rumput.

Apalagi yang beropininya tak tahu konteks lapangan. Bagaimana rasanya melihat para jakmania yang mengunggah dirinya sedang berada di Bandung yang captionnya saya baca sangat menantang. Belum lagi jejak digital almarhum Haringga.

Tetap tak mengerti jika yang dijadikan alasan adalah pembunuhan, kenapa pada laga lain yang ada korban meninggal juga tak separah ini hegemoninya? Apakah karena yang membunuh Bobotoh dan yang terbunuh the jak, sedangkan nyawa lainnya tak penting? Padahal waktu kejadian belum lewat berbulan-bulan. Yang terjadi di Bantul tepat sehari sebelum PERSIB dijamu PS. TIRA. 

Jika seluruh Bobotoh itu biadab, Ricko pasti takkan jadi korban karena beliau menjadi korban akibat ingin melindungi jakmania. Itulah keluh kesah banyak Bobotoh. Pernyataan itu terbentuk akibat dari banyaknya yang menyudutkan Bobotoh. Maka, jika kondisi ini diteruskan, saya khawatir takkan ada perbaikkan. Apalagi jika benar kompetisi dihentikan, yang ada saling menyudutkan takkan pernah selesai.

Seperti dalam tulisan sebelumnya, saya ulangi lagi. Dari tahun 2016 ketika Persib melawan persija di Solo, saya sudah tidak menyukai pelarangan suporter tamu untuk tidak datang. Memang sangat baik ketika kebijakan itu pertama kali digunakan, namun waktu terus berlalu, saya kira harus ada kebijakan baru. Kini, oleh sebab pelarangan itu, timbul akibat baru yaitu menjadi penyusup, datang ke stadion lawan dengan tidak menggunakan atribut timnya. Dan hal itu menjadi semacam pencapaian bila berhasil tembus. Coba telusuri satu sampai dua hari sebelum tanggal 23 September, banyak sekali akun-akun the jak yang memposting dirinya sedang berada di Bandung dan akan menyambangi GBLA, termasuk memposting foto tiket pertandingan dengan caption yang saya baca sangat menantang Bobotoh. Dan Bobotoh pun begitu bila Persib menyambangi kandang persija.

Jika yang jadi masalah adalah tentang korban yang menyusup, maka solusinya bukan memberhentikan liga tapi memperbaharui kebijakan pelarangan suporter rival datang ke kandang lawan kalau perlu ganti kebijakannya.

Yang terjadi belakangan ini adalah diskusi-diskusi yang malah akan memperparah keadaan. Mereka berpikir bahwa suporter Indonesia sangat urakan. Tak pernah mencoba melihat ke negara yang sepakbolanya sudah maju. Sangat bosan membahas tentang kebijakan di Inggris, misalnya, yang setiap rival bisa saling mengunjungi. Dan juga pernah terbukti berhasil dilakukan di sini ketika persija menjamu Persib di Malang dan Sleman, juga Final Piala Presiden dan Bhayangkara Cup yang walaupun lawan Persib bukan persija tapi kedua final itu dihelat di Jakarta, yang sudah pasti secara kuantitas jakmania lebih banyak dari pada ketika di Malang dan Sleman.

Sebagai manusia penuh dosa, suudzon atau berprasangka buruk selalu menghampiri. Jika saja Persib tak berada di puncak klasemen, hal ini mungkin takkan separah ini, karena yang mengutarakan keinginan Persib untuk disanksi adalah sebagian dari tim-tim yang ada di peringkat 2-5, jika nyawa adalah yang mereka perjuangkan, kenapa tidak seberisik ini ketika jatuhnya korban di Bantul, Jakarta, Malang yang belum genap setahun? Atau mungkin kejadian ini berdekatan dengan akan diadakannya pemilihan umum. Aji mumpung, mendompleng demi nama yang semakin familiar.

Maafkan kami Haringga, Ricko, Rangga dan lainnya, kematianmu disalahgunakan demi uang, pamor, citra atau elektabilitas, karena seperti sebelumnya, takkan ada hasil yang signifikan jika yang mengutarakannya punya maksud lain, selain ingin persepakbolaan Indonesia lebih baik. Dan orang-orang seperti itu lebih biadab dari pelaku pembunuhanmu. Semoga tenang di alam sana.

Senin, 24 September 2018

Malam Indah yang Ternoda

23 September 2018, Persib menghadapi persija pada lanjutan Liga 1. Seperti sebelumnya, laga ini akan memanas sejak jauh hari, terutama di dunia daring. Di mulai dari susahnya mencari tiket, adu banter, sampai individu-individu pendukung persija yang mengunggah foto sedang berada di Bandung dimana dalam unggahannya tersebut beliau-beliau mengatakan bahwa akan hadir di GBLA yang mengakibatkan sebagian dari Bobotoh terpancing. Sweeping adalah bahasa yang sering mereka sebutkan dan lakukan, lalu kemudian Bandung kena tular.

Memang sweeping pernah dilakukan sebelumnya oleh kawan-kawan di Bandung. Namun, mungkin karena terprovokasi akibat banyaknya postingan jak mania, pada malam sebelum hari pertandingan, banyak sekali kabar yang saya dapat bahwa Bobotoh telah 'menangkap' beberapa the jak. Sampai salah satu kawan berucap bahwa tahun ini sangat beda, ia melihat gairah Bobotoh untuk me-sweeping the jak amat tinggi, bahkan ketika ia akan pulang lalu melewati Alun-alun Bandung, banyak sekali Bobotoh yang sedang menginterogasi orang yang mereka kira sebagai the jak, padahal waktu menunjukkan sudah dini hari.

Bagi saya kejadian itu seperti anomali. Jangankan ada waktu untuk mencari kawanan penyusup yang sudah diperingati untuk tidak hadir, mencari tiket pun sudah sangat menyita waktu bahkan pikiran. Hari itu memang terasa berbeda. Lalu, salah satu kawan saya lainnya memperlihatkan temuannya di instagram, yaitu video seorang remaja yang mimik mukanya seperti akan menangis karena sedang diinterogasi. Saya kira, itu masih dalam tahap wajar, apalagi jika mengingat apa yang dilakukan oleh mereka yang sungguh begitu angkuh nan gagahnya mengunggah foto sedang berada di Bandung dengan untaian kata yang saya kira sangat menantang.

Hari pertandingan pun tiba. Awalnya, saya serta beberapa kawan merencanakan untuk datang ke stadion menggunakan ojeg online dari rumah kawan saya di Bojongsoang, namun setelah terpikirkan bahwa di stadion sinyal akan susah didapati yang akan mengakibatkan sulitnya mencari ojeg online, kami memutuskan untuk menggunakan kereta pada pukul 10.21 WIB dari Cikudapateuh. Rencana kembali gagal, akibat tiket kereta untuk keberangkatan pada pukul itu sudah habis. Dan sialnya keberangkatan selanjutnya adalah pukul 12 kurang 7 menit. Mengingat pintu tribun sudah dibuka sejak pukul 12 siang, pilihan untuk menggunakan kereta bukan pilihan terbaik kecuali bersedia untuk masuk berdesakkan. Sampai akhirnya, sebelum adzan dzuhur kami memutuskan untuk menyimpan mobil di rumah teman sekitaran pasar Gedebage, lalu ke stadion menggunakan ojeg pangkalan yang mengetahui jalan pintas bebas macet. Padahal waktu belum menunjukkan pukul 12 siang. Namun, begitu gelisah, apalagi ketika mendapat kabar dari teman yang sudah berangkat dari pukul 10.30 menggunakan motor dan tak bisa bergerak disekitaran jalan Cimencrang.

Saya akhirnya masuk ke stadion sekitar pukul satu. Tak langsung masuk tribun, saya memilih untuk melihat jalanan sekitar stadion terlebih dahulu dari lantai tiga stadion. Lautan manusia dan kendaraan sangat terlihat jelas. Kendaraan sudah tak bisa bergerak, gerbang masuk sangat penuk sesak oleh ribuan manusia, sepak mula tinggal dua jam setengah lagi. Jika saya ada diantara ribuan manusia yang berdesakkan itu pasti sudah khawatir tidak bisa masuk stadion.

Sepak mula sampai harus diundur 30 menit akibat kedua kesebelasan sulit untuk masuk stadion, bahkan Persib harus berjalan kaki melewati sawah.

Pertandingan sungguh berbeda, jika biasanya para pemain sangat berhati-hati, kemarin, para pemain sungguh emosional, pertandingan berjalan belum lama, Persib sudah mendapatkan dua kartu kuning. Ismed dihajar Ardi Idrus, yang sebelum pertandingan memposting kata-kata heroik dari Adjat Sudradjat untuk tidak takut untuk berkelahi di instastorynya. Dan hal yang paling saya suka adalah ketika Bojan Malisic dengan sangat tengilnya menghampiri Bepe yang ada di Bench pemain untuk berkonfrontasi.

Gol indah tercipta oleh King Eze lewat sepakan kerasnya. Lalu terbalas oleh tandukan Jaimerson sebelum babak pertama selesai. Di babak kedua Bauman kembali membuat Persib unggul, lalu kembali dibalas oleh sundulan Rohit. Sungguh itu adalah pertandingan yang seru. Bermain keras sejak menit awal. Dua kali unggul lalu terbalaskan. Sampai merasa sudah habis ketika tambahan waktu empat menit diucapkan oleh MC. Namun, siapa sangka, pemain yang sejak awal sudah sangat emosional, dapat mencetak gol dramatis pada menit 93.33. Menit dan detik yang indah. Gol pembunuh persija yang dirayakan begitu emosional. Pahlawan dari Balkan kembali hadir!

Pertandingan berakhir, kami semakin kokoh di puncak. Jika biasanya, kami (saya dan kawan-kawan yang setiap pertandingan kandang selalu bersama-sama) sama sekali belum pernah melakukan Viking Clap pada musim 2018, malah kami sangat tidak menyukai anthem. Kemarin sangat berbeda, seluruh kawan saya melakukan Viking Clap dan bernyanyi Kami Biru. Sungguh nikmat sekali malam kemarin. Kemenangan dramatis. Setelah ritual yang sebenarnya saya tidak sukai (kecuali pada pertandingan kemarin) telah selesai, kami tidak langsung keluar stadion, kami lebih memilih duduk menikmati suasana stadion dengan cahaya bulan yang menerangi ketika lampu stadion sudah dipadamkan oleh PANPEL agar Bobotoh segera keluar stadion dan hanya kami saja yang berada di blok tribun samping selatan atas. Ketika banyak orang sudah ingin cepat-cepat sampai rumah, suasana stadion di bawah cahaya bulan itu sangat indah dengan rasa senang yang sangat menyelimuti.

Nuansa indah yang tak terbayang sedikitpun bahwa setelahnya akan ada kabar buruk yang menghampiri. Sungguh tak bermoral bak binatang. Entah apa yang ada dalam pikiran orang-orang yang membabibuta itu. Bagaimana perasaannya memukuli orang yang sudah tak berdaya. Apalagi ketika mengetahui kebiadaban itu terjadi pada pukul satu siang yang dimana banyak orang sudah khawatir tidak bisa masuk stadion, atau mungkin cuma saya saja yang memiliki kekhawatiran seperti itu.

Kemenangan yang indah ternoda, keadaan dimana seharusnya kami meluapkan euphoria malah mendadak lesu. Apalagi ketika membaca sosial media yang template.

Banyak sekali hal yang harus diluruskan. Tafakur mungkin adalah suatu keharusan. Padahal, Dodi Pesa pernah menulis tentang menjadi Bobotoh yang harus bebas asal tidak kriminil. Sungguh menyesakkan ketika mengetahui tulisan itu dibuat pada tahun 2003. Kemunduran, kah? Entahlah, saya hanya orang baru di dunia ini.

Namun, jika kebebasan pendapat adalah sebuah keniscayaan. Maka saya ingin berpendapat bahwa kesalahan bukan hanya pada suporter belaka. Apalagi jika hanya menyalahkan pelaku.

Sejak 2016 ketika Persib akan bertandang ke Solo melawan persija, saya sangat tidak setuju ketika suporter dilarang untuk datang ke stadion dengan alasan keamanan. Bukan karena hanya menonton tim kesayangan adalah panggilan jiwa. Namun kini, banyak yang berpaham bahwa mengunjungi kandang yang katanya rival dengan cara menyusup adalah keren. Dan itu sangat sulit untuk dilarang oleh siapapun, buktinya setelah korban jatuh, masih ada yang tetap memaksakan diri menjadi penyusup lalu kemudian jatuh korban lainnya. Coba lihat postingan beberapa akun the jak pada 1-2 hari sebelum hari pertandingan, begitu menantang, seakan maut bukan taruhannya. Atau mungkin mereka sudah tahu dan siap akan akibatnya.

Kecuali di PTIK yang memang kandangnya keamanan, pada beberapa tahun terakhir korban selalu ada, dan yang lebih parah adalah beberapa kali korbannya merupakan kawan sendiri. Ironi, bung. Bahkan ketika perdamaian banyak digaungkan, korban tetap ada.

Jika perdamaian adalah jalan salah satunya. Saya kira, butuh kekonsistenan yang amat baik. Bukan untuk mencari aman atas desakkan pihak keamanan atau para politisi yang ingin mencari pamor.

Dengan kebijakan melarang rival datang ke kandang lawan dan masih banyaknya korban yang jatuh, saya kira, harus ada kebijakan baru.

Apalagi, jika melihat ke Inggris, negara industri sepakbola terbaik, menurut saya. Mempunyai rival adalah hal yang lumrah, jangankan kedaerahan, agama pun turut dijadikan alasan. Namun di sana tetap bisa saling mengunjungi ke kandang rival.

Juga mengingat ketika melawan persija pada tahun 2009 di Malang dan 2013 di Sleman, serta dua kali final di GBK yang walaupun bukan melawan persija tapi menurut saya lebih bahaya jika kuantitas the jak menjadi acuan. Bukankah di keempat pertandingan itu nihil korban yang meninggal?

Saya kira, memang butuh kebijakan baru dan yang menjadi sorotan saya ada di pihak keamanan. Maukah berkerja ekstra seperti di Malang, Sleman serta pada saat final Piala Presiden dan Bhayangkara cup?

Menyalahkan supporter saja tidak cukup, apalagi hanya menyuruh untuk berdamai. Sepengetahuan saya, konflik yang kebablasan ini adalah cerminan dari kehidupan sehari-hari. Coba cari tahu tentang tawuran di Jakarta dan pinggirannya. Apakah semuanya berlandaskan sepakbola?

Semoga yang berteriak tentang kejadian kemarin apalagi di media sosial bukan hanya emosi sesaat apalagi hanya ikut-ikutan, terutama untuk para calon pemimpin daerah yang malah membuat masalah tidak pernah terselesaikan dan hanya membuat keriuhan sesaat saja.

Ah! Anjing! Ketotolan yang membuat kemenangan terasa hambar. Padahal gol Bojan Malisic pada menit terakhir itu sungguh layak diperbincangkan berhari-hari setelah pertandingan, bukan malah kejadian bodoh yang dijadikan topik perbincangan yang berlarut-larut dan tanpa solusi yang signifikan.