Senin, 02 April 2018

Ilmu dan Biasnya Gelar

Akhir Maret, lupa tepatnya, setelah sekian lama, orang tua kembali menanyakan kuliah yang tak mau saya selesaikan. Tak ada kata yang saya keluarkan untuk jawaban dari pertanyaan tersebut. Anjuran dari orang tua pun sebenarnya tak memberatkan, hanya meminta jika tak ingin segera diselesaikan, minta cuti saja, dikit lagi, sayang kalau sampai DO.

Seharusnya, waktu normal 4 tahun untuk menyelesaikan kuliah sangat bisa untuk saya lalui. Dulu, saya mempunyai keyakinan bahwa kuliah tidak hanya untuk memahami banyaknya teori apalagi rumus-rumus yang setelah ujian takkan teringat lagi. Tapi, membentuk cara berpikirlah yang menurut saya lebih penting ketika itu.

Apa yang harus saya banggakan ketika mendapatkan gelar lalu tak banyak ilmu yang saya mengerti?

Saya kira, mengerti atau paham berbeda dengan tahu yang sering dipraktekkan oleh para penghafal dengan konsep SKSnya yaitu Sistem Kebut Semalam. Hari Senin belajar teori piramidnya Abraham Maslow, di hari itu pula menjadi tahu bahwa kebutuhan akan makanan akan lebih utama dibanding kebutuhan akan rasa aman, lalu kembali lupa setelah keluar kelas, berminggu-minggu terlewati dengan mendapatkan ilmu baru, lalu beberapa hari sebelum ujian mendapat kisi-kisi bahwa teori Abraham Maslow akan muncul di salah satu soal ujian, karena kebutuhan akan nilai, teori Abraham Maslow kembali dicari dengan menggunakan konsep SKS, ujian berhasil dilewati dengan menjawab soal teori piramida Abraham Maslow dengan baik, setelah itu lupa lagi. Terus begitu sampai saya merasa tertipu oleh nilai dengan tujuan utama dari belajar yang terlupakan.

Saya bukan seorang yang sangat pandai, bukan orang yang seketika akan paham dengan apa yang dijelaskan oleh guru atau dosen, bukan pula orang yang akan langsung selalu mengerti dengan apa yang dibaca.

Kejemuanpun muncul, ada fase di mana saya tak membawa apa-apa selain bolpoin dan tambahan rasa ngantuk jika waktu baru pukul 7 pagi dan saya harus sudah ada di kelas. Fungsi utama bolpoin yang saya bawa adalah untuk menandatangani absen. Jika ada keharusan untuk menulis, satu lembar kertas milik kawan di sebelah saya akan selalu saya minta dengan balasan ucapan terima kasih. Tak jarang juga kertas yang harusnya saya gunakan untuk menulis pelajaran malah digunakan untuk menggambarkan best XI pemain bola menurut saya, best XI pemain asing, best XI pemain impian yang diinginkan untuk bermain di Persib serta best XI-best XI lainnya. Nanaonan coba.

Kejemuan mencapai puncak ketika harus mempelajari trading saham yang tidak saya alami sehingga benar-benar sangat sulit untuk saya pahami, entah karena sudah sangat jemu sehingga sulit memahami. Sampai ketika ada tugas kelompokpun saya memilih untuk bergabung dengan kelompok yang di dalamnya ada seorang kawan baik dengan IPK tertinggi diangkatan saya, dengan harapan tak perlu ikut mengerjakan tugas. Bahkan kebanyakan bab di laporan kuliah praktek kerja pun kawan baik saya tersebut yang mengerjakannya. Jika saja teman baik saya tersebut tidak membantu, bisa jadi laporan kuliah praktet kerja itu takkan pernah selesai.

Selain alasan di atas, buku-buku serta artikel atau esai yang saya baca cukup mempengaruhi cara memandang sekolah. Walaupun Steve Jobs berkata bahwa jangan menganggap enteng sekolah karena sangat banyak orang sukses dengan diiringi gelar yang baik. Tapi opini tersebut dikatakan oleh yang tak menyelesaikan kuliahnya. Apalagi ketika membaca kabar banyaknya pejabat yang mempunyai ijazah palsu serta pengalaman pribadi yang memperlihatkan dengan sangat mudah mendapatkan ijazah palsu.

Belum lama, mungkin hanya beberapa minggu kebelakang, seorang kawan mengutip kutipan dari Ben Anderson (seorang Indonesianis asal Irlandia, yang juga peneliti di Cornell University) yang memaparkan bahwa "fungsi utama gelar akademik akhir-akhir ini hanya sekedar menjadi jalur migrasi sosial-ekonomi ke dalam tingkatan yang lebih tinggi dan mapan. Sedangkan pemaknaan pendidikan tinggi sebagai “pendidik” yang mencetak intelektual dalam pengertian ketat untuk kemajuan ilmu pengetahuan semakin ditinggalkan." 

Fenomena ijazah sebagai salah satu syarat untuk bekerja sehingga ijazah palsu menjadi marak. Juga, fenomena yang sangat amat saya tak inginkan adalah gelar sebagai gengsi, semoga tetap dijauhkan dari rasa bangga oleh berderetnya gelar diantara nama dengan tidak diiringi ilmu pada gelar tersebut. Dengan dua fenomena tersebut, maka kutipan Ben Anderson menjadi sangat masuk akal.

Sedikit pembelaan agar elektabilitas tetap tinggi. Sejauh saya mengingat, saya tak punya rekam yang begitu jelek ketika menempuh kehidupan di dunia persekolahan. Sering mengalami fase senangnya mendapatkan peringkat dua ketika SD dan juga SMP, lalu di salah satu semester pada saat awal kuliah hanya mendapkan satu nilai B dan sisanya A. Bahkan dalam hal absensi, saya adalah orang yang sangat jarang absen, kecuali ketika tingginya hasrat dalam menonton sepakbola. Seperti tak ikut ujian praktek ketika SMP atau seminggu tak kuliah karena Kutai dan Surabaya memanggil.

Sebagai penganut untaian kata "I have many stories, but i guess some better left untold". Jadi, demikianlah alasan-alasan yang bisa saya utarakan. Sebagai manusia biasa, rasa bimbang kerap menghampiri, apalagi jika mencoba memahami perasaan orang tua yang ingin anaknya mempunyai gelar serta biaya yang telah banyak dikeluarkan.

Maaf.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar