Kamis, 05 April 2018

Sosok pada diri Firman Utina

Firman Utina, bagi penyuka sepakbola lokal nama tersebut takkan asing, apalagi bagi publik Bandung yaitu para penggemar Persib. Pada musim 2013, setelah Abah Djanur ditunjuk sebagai pelatih, nama Firman Utina masuk kedalam daftar pemain pada musim itu.

Awalnya, saya sedikit pesimis dengan masuknya Bang FU, ada beberapa faktor, seperti usia yang akan berpengaruh kepada kondisi fisik, juga banyaknya tim yang telah beliau bela, malah saya pernah baca di salah satu akun media social, saya lupa nama akunnya, akun tersebut menolak kedatangan Bang FU dengan alibi bahwa Firman Utina takkan bermain dengan hati karena beliau adalah pekerja sepakbola.

Bahwa benar jika kritikkan atau cacian tidak perlu dibalas dengan argumentasi tapi dengan tindakan. Dan Bang FU melakukan itu. Atau mungkin saya yang tidak membaca kabar tentang argumentasi balasan Bang FU terhadap kritikkan, seperti apa yang dilakukan oleh salah satu pemain Persib dengan membuat kaos dengan tulisan "where are you when we lose?".

Setahu saya Bang FU adalah sosok yang bisa mendinginkan kondisi tim jika sedang panas, memanaskan kondisi tim jika sedang dingin, mencairkan suasana dengan candaannya, dan juga sosok yang bisa membuat pemain lain hanya memikirkan bagaimana mereka memberikan permainan terbaik, sisanya Firman Utina yang atur.

Ada satu kisah yang bisa saya bagi mengenai peran Bang FU dalam mendinginkan kondisi tim jika sedang panas. Kondisi tersebut terjadi pada saat itu Vlado tidak ditemani Jupe dalam mengawal pertahanan Persib, kalau tidak salah saat pertandingan AFC Cup di Jalak Harupat, saya ingat betul pada saat itu karena posisi saya di tribun tepat di depan pertahanan Persib, beberapa kali Vlado menunjukan gerak tubuh kecewa kepada tandem center backnya tersebut. Dan puncaknya ketika lawan bisa mencetak gol, adu mulut pun berlangsung ditengah lapangan bahkan ketika pertandingan belum selesai, ketidakharmonisan yang sangat parah saya kira. Setelah pertandingan Firman Utina menghampiri Bobotoh yang sedang berada di Stadion Persib, salah satu Bobotoh ada yang bertanya mengenai insiden tersebut. Dengan kalemnya beliau menjawab “Saya sudah sarankan kepada pelatih untuk melihat tayangan ulang pertandingan tadi, jadi bisa tau apa yang salahnya agar tidak subjektif” hasilnya: Tim tetap kondusif!

Untuk memanaskan kondisi tim jika sedang dingin atau agar tetap panas, saya kira banyak contohnya yang mungkin bisa dilihat dibeberapa tayangan ulang, seperti teriakkan-teriakkan ketika Persib kebobolan atau gerakkan tangan yang menunjukkan untuk tetap berkonsentrasi ketika sudah mencetak gol.

Apalagi kisah tentang bagaimana Bang FU mencairkan suasana. Adakah yang pernah melihat pemain Persib yang sekarang melakukan foto selfie yang dilakukan oleh satu tim? Coba lihat apa yang dilakukan oleh seluruh tim pada latihan perdana untuk menghadapi turnamen Piala Presiden yang pertama. Nginget-ngingetna ge resep, komo deui mun ayeuna jiga kitu.

Apalagi jika mengingat ketika Persib berhasil memenangkan pertandingan semifinal LSI 2014 melawan Arema, euphoria pemain sangat tinggi, bahkan sampai menangis haru, seakan Persib sudah juara, padahal baru memenangkan semifinal, bukan final! Firman Utina (kapten sesungguhnya pada masa saat tertinggal 2 gol pun bisa membalikkan keadaan, bukan seperti sekarang, sudah unggul malah jadi kalah) menyadari bahwa hal tersebut terlalu berlebihan karena euphoria yang sedang tim Persib alami tersebut sama dengan apa yang dirasakan ketika Sang Kapten membela Timnas dan mantan timnya masuk final yang berakhir dengan Runner Up. Sebagai pemain senior, dengan kebijaksanaanya, beliau menyarankan kepada pelatih dan manager untuk bisa sedikit meredam euphoria tersebut dan hasilnya: JUARA!

Mungkin banyak kisah lainnya yang lebih heroik dan mungkin juga kisah yang saya ceritakan terlalu hiperbola. Namun miris rasanya jika mendengar cerita salah satu rekan wartawan yang mewawancarai tentang aksi pemasangan spanduk "Soler Out"di saat latihan Persib di Arcamanik kemarin. Rekan wartawan tersebut bercerita kepada saya bahwa Arkan yang memasang spanduk tersebut malah mendapat acungan jempol dari salah satu pemain dan beberapa official tim serta senyuman dari pemain lainnya. Saat ini, saya kira ada yang salah dalam keharmonisan di tim Persib.

Dan keharmonisan tim itu sangat penting. Seperti apa yang Ahmad Jufriyanto katakan ketika ditanya mengenai Kas Hartadi atau Djajang Nurjaman dalam wawancaranya bersama Footballtribe. Jupe malah menjawab "Ini yang selalu saya percaya. Untuk bisa jadi juara terkadang bukan soal kemampuan pelatih dalam urusan taktikal saja. Ada hal yang lebih esensial lagi. Salah satunya adalah bagaimana bisa merangkul pemain untuk menjadi satu kesatuan. Jadi nantinya mereka bisa mengeluarkan yang terbaik di lapangan. Dan menurut saya, baik Pak Kas (Hartadi) ataupun Pak Djanur punya kemampuan itu. Mereka bagus dalam pendekatan personal kepada pemain. Mereka bisa merangkul seluruh tim. Secara pribadi dua-duanya pelatih hebat buat saya."

Dengan alasan-alasan tersebut, saya kira Persib sekarang memang butuh SOSOK!

--------------------------------------------

Juga dimuat di Web VikingPersib Club dan Halik Ku Aing Zine

Senin, 02 April 2018

Ilmu dan Biasnya Gelar

Akhir Maret, lupa tepatnya, setelah sekian lama, orang tua kembali menanyakan kuliah yang tak mau saya selesaikan. Tak ada kata yang saya keluarkan untuk jawaban dari pertanyaan tersebut. Anjuran dari orang tua pun sebenarnya tak memberatkan, hanya meminta jika tak ingin segera diselesaikan, minta cuti saja, dikit lagi, sayang kalau sampai DO.

Seharusnya, waktu normal 4 tahun untuk menyelesaikan kuliah sangat bisa untuk saya lalui. Dulu, saya mempunyai keyakinan bahwa kuliah tidak hanya untuk memahami banyaknya teori apalagi rumus-rumus yang setelah ujian takkan teringat lagi. Tapi, membentuk cara berpikirlah yang menurut saya lebih penting ketika itu.

Apa yang harus saya banggakan ketika mendapatkan gelar lalu tak banyak ilmu yang saya mengerti?

Saya kira, mengerti atau paham berbeda dengan tahu yang sering dipraktekkan oleh para penghafal dengan konsep SKSnya yaitu Sistem Kebut Semalam. Hari Senin belajar teori piramidnya Abraham Maslow, di hari itu pula menjadi tahu bahwa kebutuhan akan makanan akan lebih utama dibanding kebutuhan akan rasa aman, lalu kembali lupa setelah keluar kelas, berminggu-minggu terlewati dengan mendapatkan ilmu baru, lalu beberapa hari sebelum ujian mendapat kisi-kisi bahwa teori Abraham Maslow akan muncul di salah satu soal ujian, karena kebutuhan akan nilai, teori Abraham Maslow kembali dicari dengan menggunakan konsep SKS, ujian berhasil dilewati dengan menjawab soal teori piramida Abraham Maslow dengan baik, setelah itu lupa lagi. Terus begitu sampai saya merasa tertipu oleh nilai dengan tujuan utama dari belajar yang terlupakan.

Saya bukan seorang yang sangat pandai, bukan orang yang seketika akan paham dengan apa yang dijelaskan oleh guru atau dosen, bukan pula orang yang akan langsung selalu mengerti dengan apa yang dibaca.

Kejemuanpun muncul, ada fase di mana saya tak membawa apa-apa selain bolpoin dan tambahan rasa ngantuk jika waktu baru pukul 7 pagi dan saya harus sudah ada di kelas. Fungsi utama bolpoin yang saya bawa adalah untuk menandatangani absen. Jika ada keharusan untuk menulis, satu lembar kertas milik kawan di sebelah saya akan selalu saya minta dengan balasan ucapan terima kasih. Tak jarang juga kertas yang harusnya saya gunakan untuk menulis pelajaran malah digunakan untuk menggambarkan best XI pemain bola menurut saya, best XI pemain asing, best XI pemain impian yang diinginkan untuk bermain di Persib serta best XI-best XI lainnya. Nanaonan coba.

Kejemuan mencapai puncak ketika harus mempelajari trading saham yang tidak saya alami sehingga benar-benar sangat sulit untuk saya pahami, entah karena sudah sangat jemu sehingga sulit memahami. Sampai ketika ada tugas kelompokpun saya memilih untuk bergabung dengan kelompok yang di dalamnya ada seorang kawan baik dengan IPK tertinggi diangkatan saya, dengan harapan tak perlu ikut mengerjakan tugas. Bahkan kebanyakan bab di laporan kuliah praktek kerja pun kawan baik saya tersebut yang mengerjakannya. Jika saja teman baik saya tersebut tidak membantu, bisa jadi laporan kuliah praktet kerja itu takkan pernah selesai.

Selain alasan di atas, buku-buku serta artikel atau esai yang saya baca cukup mempengaruhi cara memandang sekolah. Walaupun Steve Jobs berkata bahwa jangan menganggap enteng sekolah karena sangat banyak orang sukses dengan diiringi gelar yang baik. Tapi opini tersebut dikatakan oleh yang tak menyelesaikan kuliahnya. Apalagi ketika membaca kabar banyaknya pejabat yang mempunyai ijazah palsu serta pengalaman pribadi yang memperlihatkan dengan sangat mudah mendapatkan ijazah palsu.

Belum lama, mungkin hanya beberapa minggu kebelakang, seorang kawan mengutip kutipan dari Ben Anderson (seorang Indonesianis asal Irlandia, yang juga peneliti di Cornell University) yang memaparkan bahwa "fungsi utama gelar akademik akhir-akhir ini hanya sekedar menjadi jalur migrasi sosial-ekonomi ke dalam tingkatan yang lebih tinggi dan mapan. Sedangkan pemaknaan pendidikan tinggi sebagai “pendidik” yang mencetak intelektual dalam pengertian ketat untuk kemajuan ilmu pengetahuan semakin ditinggalkan." 

Fenomena ijazah sebagai salah satu syarat untuk bekerja sehingga ijazah palsu menjadi marak. Juga, fenomena yang sangat amat saya tak inginkan adalah gelar sebagai gengsi, semoga tetap dijauhkan dari rasa bangga oleh berderetnya gelar diantara nama dengan tidak diiringi ilmu pada gelar tersebut. Dengan dua fenomena tersebut, maka kutipan Ben Anderson menjadi sangat masuk akal.

Sedikit pembelaan agar elektabilitas tetap tinggi. Sejauh saya mengingat, saya tak punya rekam yang begitu jelek ketika menempuh kehidupan di dunia persekolahan. Sering mengalami fase senangnya mendapatkan peringkat dua ketika SD dan juga SMP, lalu di salah satu semester pada saat awal kuliah hanya mendapkan satu nilai B dan sisanya A. Bahkan dalam hal absensi, saya adalah orang yang sangat jarang absen, kecuali ketika tingginya hasrat dalam menonton sepakbola. Seperti tak ikut ujian praktek ketika SMP atau seminggu tak kuliah karena Kutai dan Surabaya memanggil.

Sebagai penganut untaian kata "I have many stories, but i guess some better left untold". Jadi, demikianlah alasan-alasan yang bisa saya utarakan. Sebagai manusia biasa, rasa bimbang kerap menghampiri, apalagi jika mencoba memahami perasaan orang tua yang ingin anaknya mempunyai gelar serta biaya yang telah banyak dikeluarkan.

Maaf.