Jumat, 14 Desember 2018

Unek-Unek Penutup 2018

Sebenarnya sudah sejak lama ingin menulis hal ini. Namun, kejemuan malah menghampiri akibat dari drama-drama yang lebih dikedepankan dari pada kemenangan yang merupakan tujuan utama dari kompetisi. Rasa ingin menulis kembali datang ketika ada hasrat untuk memperburuk keadaan setelah Mario Gomez tidak akan kembali menukangi Persib pada musim depan dan keriuhan yang terjadi di media sosial. Mari mulai.

Mario Gomez datang  dengan tanpa dibebani target untuk meraih juara, manajemen menargetkan masuk lima besar saja. Bahkan beberapa akun media sosial Bobotoh menyuarakan untuk menurunkan ekspektasi. Keharmonisan pendapat yang cukup baik supaya ketika musim berlangsung dapat mengurangi “gangguan” akibat dari pencapaian tim di lapangan yang belum baik.

Benar saja, hasil pada turnamen pra musim dan dua pertandingan awal liga sangat tidak memuaskan. Namun, juga dengan kedalaman skuat yang tidak cukup baik, siapa sangka Persib bisa menjadi juara paruh musim dan tetap nyaman menguasai puncak klasemen sampai beberapa minggu setelah 23 September. 

Beragam sanksi memukul telak Persib. Yang disesalkan adalah perjuangan direksi dalam melawan sanksi yang menjadi awal dari morat-maritnya Persib di akhir musim. Saya pun tahu bahwa direksi sudah melakukan banding, tapi apakah itu cukup? Hasilnya? Apakah para pemegang keputusan tidak resah dengan komisi banding yang lambat dalam memberi keputusan? Hanya tunduk dalam aturan yang membuat keadaan Persib semakin buruk, tidakkah kecewa jika sanksi untuk pemain lebih dulu selesai dari pada keputusan banding? Adakah keinginan kuat untuk menentang aturan yang mengatur batas waktu keputusan komisi banding? Tidakkah ada keinginan untuk mempertanyakan dasar dari komisi banding yang memberi batasan keputusan yang sama antara sanksi yang akan selesai sebulan kedepan dengan tahun depan? Bukankah melawan dengan sungguh-sungguh—termasuk aturan--adalah keniscayaan dari orang yang tertindas? 

Seperti apa yang dilakukan oleh Sukarno dalam pidato pembelaan atas sewenang-wenangnya aturan yang lebih kita kenal dengan sebutan Indonesia Menggugat, dengan mengutip Tuan Mendels--Bung Karno mengatakan: 
“Satu pasal undang-undang pidana yang mendirikan bulu roma. Di dalam tahun-tahun yang akhir ini belum pernah dijumpai. Tapi kalau begitu, janganlah orang omong bahwa di sini ada aturan hukum. Ini berarti tidak ada aturan hukum sama sekali, ini adalah kesewenang-wenangan dengan mempergunakan undang-undang sebagai senjata”. 
Dengan dasar apa yang telah dilakukan dalam melawan hukum serta hasilnya, saya kira PT. PBB belum bisa disebut telah melawan dengan sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.

Juga pada musim ini, isu mafia dan skandal pengaturan skor kembali hangat. Puncaknya pada acara Mata Najwa yang berhasil mengungkap salah satu pelaku pengaturan skor. Dan dalam waktu yang hampir bersamaan muncul isu suap dalam tubuh Persib yang tidak diselesaikan sampai diketahui apakah isu itu benar atau tidak. Jadi percuma saja jika PT. PBB menginginkan adanya perubahan di sepakbola nasional jika isu di dalam tubuh sendiri saja dibiarkan, tidak dicari siapa pelaku sebenarnya dan diselesaikan sampai pelaku jera. Mungkin Ardy Nurhadi Shufi dalam salah satu artikel di Panditfootball baru-baru ini benar bahwa isu itu digunakan untuk menutupi alasan kegagalan meraih gelar juara oleh beberapa tim.

Juga perihal saling tuding “anak papah” sampai Glenn Sugita mengaku telah mengirim surat pengunduran diri dari perusahaan yang menjalankan Liga 1, namun, akan percuma saja Glenn keluar dari PT. LIB jika keputusan atau kebijakannya masih bisa ditindaklanjuti oleh Risha Adi Wijaya, yang sebelumnya menjadi tangan kanan Glenn di PT. PBB, apalagi jika perusahaan-perusahaan yang dimiliki Glenn masih menjadi bagian pada Liga 1 musim depan.

Permintaan naik gaji juga menjadi drama telenovela Persib pada musim ini. Jika Mario dan—sulit sebenarnya menulis nama ini—Soler meminta naik gaji, apa salahnya demi gelar juara? Jika yang jadi alasan adalah gaji yang sangat berbeda jauh dengan pelatih-pelatih sebelumnya. Lalu, bagaimana dengan gaji Michael Essien atau Carlton Cole, apakah gajinya tidak berbeda jauh dengan pemain lainnya? Dan juga apakah pencapaian sang Marquee Player lebih baik dari pada Mario Gomez dengan Soler? Memang sulit untuk menilai mana yang lebih baik jika tujuan utama adalah “brand image” bukan gelar juara.

Sebagai penutup, terima kasih Roberto Mario Carlos Gomez—walau Persib berhasil mengakhiri di posisi empat tapi kontrak Gomez tetap tidak berlanjut--untuk setengah musim yang membanggakan dan juga euforia terbaik pada tanggal 23 September yang tidak akan pernah terlupakan. Semoga alasan kontrak yang tidak dilanjutkan adalah benar karena attitude yang membuat tim menjadi tidak harmonis. Bukan dikarenakan attitude yang seperti Rochy Putiray katakan di salah satu video youtube channel Asumsi atas tidak dikontrak kembalinya Luis Milla di Timnas Indonesia. 

Semoga pengganti Mario Gomez benar-benar lebih baik dan bagus dari segi memenangkan gelar juara Liga 1 dan kepentingan lainnya berada pada skala prioritas selanjutnya.

Tabik!

------------------------------------------------------------

Dipost juga di Simamaung