CEROBONG asap
rumah itu tak henti mengeluarkan asap. Perapian di dalam tak pernah padam
sepanjang hari, 24 jam. Jalan menuju rumah itu berliku-liku, menyusuri
gang-gang sempit. Rumah itu terletak dibelakang terminal Pangalengan, jaraknya
kira-kira 500 meter.
Asap dari cerobong itu bukan berasal dari perapian yang
sengaja dinyalakan akibat cuaca dingin. Asap itu berasal dari api pengukus Kue Pia Kawitan. Adalah Agus
Setiadi, si pemilik rumah, sudah hampir
12 tahun menjalankan usaha Kue Pia
Kawitan di rumahnya.
Agus tak seperti masyarakat lainnya. Di tengah lingkungan
masyarakat yang berprofesi sebagai petani, Agus memilih profesi yang berbeda. Sadar
akan kemampuan istrinya, Sri Lidya, ia kemudian membuka usaha yang dinamai Kue Pia Kawitan tersebut. Dari rumah
dalam gang sempit itu, usahanya tumbuh pesat hingga mengisi seluruh pasar di Jawa
Barat.
Ya, daerah pangalengan merupakan daerah penghasil
sayur-sayuran, seperti; kentang, sawi, strawberi, teh, tembakau, kol, dan sayuran
lainnya. Areal perkebunan yang menghampar luas yang dapar dijumpai di samping
(hampir) sepanjang jalan raya menuju Pangalengan. Pangalengan juga terkenal
dengan Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) yang menghasilkan susu sapi.
Sadar akan pangsa pasar yang begitu potensial, alumni
fakultas ekonomi salah satu perguruan tinggi di Bandung itu mencoba memperluas
pangsa pasar. Caranya dengan menitipkan Kue
Pia Kawitan di warung-warung sekolahan, tempat anak-anak jajan di kala
istirahat tiba. Di warung sekolahan pun Kue
Pia Kawitan laku keras. Begitulah seterusnya hingga Kue Pia Kawitan terkenal di seluruh Pangalengan. Bahkan, hari libur
panjang menjadi hari dimana ia dapat meraup untung besar. Pasalnya, banyak
pengunjung dari luar kota yang sengaja liburan berbondong-bondong mendatangi
pabriknya.
Menguasai pasar se-Pangalengan tidak lantasi membuat pemilik
Kue Pia Kawitan ini puas. Ia melebarkan
sayap, memasarkan Kue Pia Kawitan hingga
ke pasar-pasar Banjaran. Hasilnya sama menguntungkan. Rintangan yang berarti baru menghadang usaha-nya manakala
mencoba merambah pasar-pasar yang lebih luas. Kue Pia Kawitan dari Pangalengan itu tidak langsung mendapatkan
sambutan dari para pedagang. Pasalnya, kue pia dari pedagan lain masih
menumpuk. Nampaknya, para pedagang enggan menampung barang yang tidak laku.
“Saya sempat putus asa ketika masuk ke pasar yang lebih
luas, Kue Pia Kawitan yang sudah
jauh-jauh saya antarkan tidak diterima oleh pedagang. Alasannya karena di
jongko mereka masih banyak kue pia dari pengusaha lain. Karena malas harus
membawa kembali Kue Pia Kawitan ke Pangalengan, saya gratiskan saja ke orang-orang
pasar. Saya bilang kepada mereka, makan saja, tak usah bayar, kalau memang Kue Pia Kawitan saya rasanya enak,
silahkan jual. Sebaliknya, kalau tidak, ya terserah. Setelah dicoba, ternyata
mereka mesara enak. Akhirnya Kue Pia
Kawitan saya bisa masuk ke pasaran.” Ujarnya.
Kisah sukses Agus tidak terlepas dari pendidikannya di
bidang ekonomi. Setelah menjadi sarjana, ia mengabdikan diri pada koperasi
rukun warga dimana ia tinggal sekarang. Pada tahun 1981, kedudukannya sudah
menjadi bendahara koperasi. Dalam organisasi itulah ia belajar menjadi manajer
keuangan yang baik. Selain itu juga aktif dalam organisasi kepemudaan yang
sangat membantu memperluas relasinya.
Kedudukan di koperasi kala itu, ia mamfaatkan untuk
melapangkan laju usahanya. Permodalan pertama kali memang menggunakan kocek
sendiri. Tapi setelah permintaan pasar akan Kue Pia Kawitan meningkat, ia mempertebal modal dengan uang pinjaman dari koperasi sebesar Rp. 5.000.000,-. Karena usahanya maju, uang pinjaman itu dapat ia lunasi hanya dalam jangka waktu 10 bulan.
Selain itu, relasinya yang luas sebagai aktivis kepemudaan, ia manfaatkan untuk melobi birokrasi dalam mengeluarkan sertifikat hak paten, sebagai legalitas. dengan demikian Kue Pia Kawitan hasil produksinya dapat dengan bebas merambah pasar dimana saja.
"Tidak semua pengusaha memiliki kemampuan dalam melobi birokrasi untuk mengeluarkan hak paten usaha dengan cuma-cuma, sementara saya memiliki itu karena relasi yang luas. Pembuatan hak paten itu sekurang-kurangnya dapat memakan biaya hingga Rp. 12.000.000,-. Itu pun belum termasuk mendapatkan label halal dari MUI dan standar kesehatan dari Departemen Kesahatan (Depkes). Saya mendapatkan itu semua tanpa harus mengeluarkan dana serupiah pun," ujarnya.
Karena ongkos produksi semakin meningkat seiring meningkatnya permintaan, Agus kembali meminjam modal ke perbankan. pertama-tama meminjam ke BRI dengan nominal puluhan juta, lalu ke Bank Mandiri. Kini, ia lebih nyaman berkerjasama dengan BJB dengan nominal ratusan juta. Modal sedemikian besar tersebut adalah untuk memenuhi permintaan pasar di seluruh Jawa Barat.
Modal dan permintaan meningkat berarti menuntut sumber daya manusia bagian produksi meningkat pula. Karena itu, perlahan namun pasti, Agus merekrut beberapa pegawai untuk membantu istrinya di bagian produksi. Mula-mula merekrut empat orang, lalu meingkat dan terus meningkat hingga kini karyawannya lebih dari 60 orang. Dengan karyawan yang demikian banyak pun permintaan pasar masih belum bisa terpenuhi. "Dari yang tadinya ditolak pasar, kini saya yang kadang-kadang menolak permintaan mereka karena keterbatasan produksi,' ujarnya.
Dengan kondisi pabrik yang hanya menempati rumah tinggal sendiri serta jauh dari keramaian jalan raya, omzet usaha Kue Pia Kawitan itu rata-rata mencapai Rp. 8.000.000,-/hari. Beda lagi dengan pendapatan pada waktu liburan panjang yang mencapai Rp. 15.000.000,-/hari. Karena itu, ke depan, Agus sangat berharap memiliki pabrik yang lebih luas dengan lokasi dipinggir jalan raya. Selain agar lebih leluasa dalam proses produksi, juga memudahkan para pengunjung kala liburan untuk berbelanja ke pabriknya. (ARI)
Disalin dari " KARSA 'Majalah Ekonomi Kreatif' " Vol. 1 No. 11, Juli 2012, Hal 63.